DMZ | 5. Pertolongan

6.2K 727 71
                                    

Usai pertengkaran itu, Raka memilih menginap di rumah Andi untuk menenangkan diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Usai pertengkaran itu, Raka memilih menginap di rumah Andi untuk menenangkan diri. Raka benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikir ayahnya yang masih belum terima dengan kebangkrutan dua belas tahun lalu. Padahal, dulu sosok itu adalah panutannya, pembimbingnya, serta petunjuknya tatkala ia tersesat di jalan yang salah.

"Ada masalah, Rak?" tanya Andi ketika sudah di kamar tamu untuk mengantar Raka.

"Ayah gue berulah lagi," ucap Raka lesu. Andi menghela napas lalu menepuk bahu Raka.

"Sabar, ya! Pintu rumah gue selalu terbuka lebar buat lo. Gue tinggal dulu biar lo nenangin diri. Jangan lupa salat biar hati lo makin tenang!" ujar Andi, Raka mengangguk lesu.

"Makasih banyak, Ndi, lo memang sabahat terbaik gue," ucap Raka.

"Yaelah lo. Kita kenal udah lama, santai aja," katanya lalu menutup pintu kamar itu.

Raka berjalan menuju kamar mandi guna mengambil wudu. Ia ingin benar-benar tenang malam ini. Hanya sajadahlah tempatnya bersujud tatkala tak ada bahu yang kuat untuk bersandar.

"Ya Allah Ya Rahman, hanya Engkaulah Yang Maha Membolak-balikkan hati hamba-Nya. Sadarkan ayah, Ya Allah ... kembalikan sosok ayah yang dulu. Raka takut kehilangan arah, Ya Allah. Kasihan bunda, bunda enggak pernah bersalah atas kejadian itu," lirih Raka dalam doanya.

"Raka tahu Engkau Maha Mendengar, Ya Rabb."

Tes ... Raka kembali menangis setelah kedua telapak tangannya mengusap wajahnya. Ini terlalu sulit untuknya. Ia ingin keluarga yang utuh, tetapi untuk apa jika itu hanya akan menyakitkan bundanya?

Raka sudah sedikit tenang, ia keluar dari kamar guna menemui Andi.

"Eh, udah tenang?" kata Andi yang sedang duduk di teras dengan laptopnya. Raka mengangguk singkat.

"Laper gak? Cari makanan, yuk!" ajak Andi.

Raka melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Baru jam 9 malam ternyata.

"Yuk! Beli martabak yang di Perum Griya Asri aja," kata Raka sambil mengambil kunci motor di saku celananya.

Mereka bergegas berangkat menuju pedagang martabak yang tak jauh dari tempat tinggal Andi. Namun, Raka memperjelas pengelihatannya, ia melihat ada seorang gadis yang sedang diganggu beberapa laki-laki jahil.

"Astagfirullah," ucap Raka, Andi mengikuti arah pandangnya.

"Astagfirullah! Ini daerah rawan. Ayo bantuin, Rak!" Raka mengangguk. Ia langsung mengunci ganda motornya lalu berlari menuju gadis yang sedang ketakutan itu.

Bugh! Bugh! Raka berkali-kali melayangkan pukulan pada tiga orang laki-laki yang sedang menggoda gadis yang ia kenali dengan pakaian mereka yang sangat menandakan seorang preman. Gadis itu menunduk sambil menangis, ia meremas rok plisket yang ia pakai untuk menyalurkan rasa takutnya. Sedangkan Raka dan Andi masih sibuk menghajar ketiga laki-laki tadi.

Entahlah, sejak kejadian ayahnya memukuli bundanya ia sangat tak bisa melihat perempuan disakiti apa lagi sampai menangis.

"Pergi gak, lo?! Gak malu tuh sama badan, malah godain cewek?!" sarkas Raka pada salah satu preman bertubuh gempal. Mereka bertiga akhirnya pergi, menyisakan gadis yang masih menangis dengan kedua malaikat baik.

"Kamu gapapa?" tanya Raka lembut sambil mendekati gadis itu.

"Khayla?" ucap Raka. Gadis itu mendongak sesaat lalu kembali menundukkan pandangannya.

"Ma—makasih banyak, Raka," ucap Khayla yang masih terlihat syok.

Raka melirik ke arah Andi, ia tak mungkin meninggalkan gadis ini sendirian.

"Kamu mau pulang? Boleh aku antar kamu pulang?" tanya Raka ragu, melihat gadis ini yang sangat bersikap religius membuatnya ragu.

Gadis itu menggeleng kuat, ia tak mau dijadikan bahan fitnah.

"Aku enggak akan macam-macam, janji. Ini sudah malam, Khayla, apa lagi di daerah sini rawan banget, kamu warga baru jadi mungkin belum tahu," ujar Raka.

"Ta—tapi ... aku takut," cicit Khayla.

"Hm, rumah kamu memang di mana?" tanya Raka.

"Di perumahan ini, Jalan Sekarsari blok C nomor tujuh belas," ujar Khayla, Raka sontak membulat.

"Dekat, tapi di daerah blok A rawan banget, Khayla, apa lagi di sana gelap, kami sering main di daerah sini dan sudah banyak kejadian," ujar Raka, gadis itu dibuat semakin bimbang.

"Tapi aku enggak mau berduaan sama lawan jenis," ucap Khayla.

"Yaudah gini, aku dan Andi antarin kamu dari belakang, ya? Kita jalan aja, biar motornya dititipkan ke pedagang martabak di depan."

Akhirnya Khayla menyetujui, seperti ini akan jauh lebih baik.

Sesampainya di rumah Khayla, Raka mengernyit tatkala melihat dua ekor kelinci peliharaan Khayla. Ia semakin yakin bahwa Khayla adalah Adiba yang ia cari.

"Kelinci?" gumam Raka tanpa sadar.

"E—eh? Itu peliharaanku, sejak kecil aku suka banget sama kelinci. Kelinci itu selalu bisa merawat dirinya agar terlihat putih, dan putih itu suci, makanya aku suka."

Deg. Alasan itu sama seperti alasan Adiba saat merengek minta dibelikan seokor kelinci pada abinya. Raka mematung dan kembali menerka, apa mungkin nama Adiba telah diubah?

"Kamu mirip teman kecilku, Khayla," ucap Raka sambil tersenyum memamerkan lesung pipinya.

"Rak, ayo ah, keburu rame noh! Gue udah lapar," sela Andi membuat Raka mengendus kesal. Namun, Khayla bisa mencerna perkataan Raka.

"Hm, terima kasih banyak ya kalian sudah mau menolong Khayla," ucapnya sambil menunduk.

"Sama-sama. Lain kali jangan jalan sendiri! Daerah sini memang rawan," ucap Raka.

"Yaudah kita pamit ya," imbuhnya.

"Assalamualaikum," ucap Raka dan Andi.

"Waalaikumsalam."

"Raka tadi bilang ... Khay mirip teman kecilnya? Kenapa kita menerka bisa kebetulan sama? Ya Allah, apa Raka adalah Zidan?" gumam Khayla.

"Tapi kayaknya enggak mungkin."

-

-

-

Hayolo! Gimana dengan mereka? Wkwk

Next part sudah mulai konflik ringan, ya! Siapkan hati kalian. Oh iya, satu lagi ... ambil baiknya, buang buruknya, okay!

Mau double up? Komen ya!

Jangan lupa bantu vote, komen dan share yaa!

Thank you,

Dinda.

Dear, Zaujaty (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang