DMZ | 36. This Not Imagination, Dear

3.1K 312 12
                                    

Hai! Malam ini aku up sampai end

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hai! Malam ini aku up sampai end.
Udah siap pisah sama mereka?

Siapkan tisu, vote dan komennya oke😂

Happy reading, semoga enggak menyesal :)

- - -

“Sekuat-kuatnya fisik manusia, enggak akan ada yang sekuat baja, dan selembek-lembeknya hati manusia, enggak ada yang selembek tahu.” –Dindanurokta.

“Mas.”

Deg. Suara itu … membuat jantung Raka berdetak hebat dengan matanya yang masih terpejam. Raka mengerjab, membuka matanya perlahan yang menampakkan sosok yang ia sayangi.

“Astagfirullah. Jangan kayak gini, Diba! Aku mau ikhlasin kamu,” lirih Raka seraya kembali memejamkan matanya. Wanita itu mengernyit, apa maksudnya … mengikhlaskan?

“Mas,” panggil Khayla, lagi. Raka menggelengkan kepalanya sendiri, membuka matanya kembali, tetapi hasilnya masih sama, sosok itu  masih ada di hadapannya.

Khayla mengelus lengan Raka membuat lelaki itu berkata, “jangan gini, sayang!”

“Mas, kamu kenapa?” Kali ini Khayla yang mulai meluruhkan air matanya. Suaminya ini … berbicara tak pantas saat sakit di perutnya mulai menjalar.

“Ka—kamu benaran Adiba?!” pekik Raka.

“IH! Masa enggak kenal istri sendiri,” rajuk Khayla.

“Bukan gitu. Ka—kamu ….” Raka menggantungkan ucapannya, mengingat apa yang sebenarnya terjadi.

“Kamu mimpi buruk?” tanya Khayla. Raka mengerjab, melihat sekelilingnya. Ruang kerja di kafenya? Artinya … itu hanyalah mimpi yang hadir selama ia tertidur di kaki Khayla. Namun, mengapa semuanya seolah nyata?

“Mas, perutku sakit,” lirih Khayla dengan keringat yang sudah mulai bercucuran. Raka langsung bangkit.

This is not my imagination? Ya Allah. Alhamdulillah,” ujar Raka yang langsung mengelus bahu Adiba untung menenangkan.

“Kamu mau melahirkan?” Adiba menggeleng kuat membuat Raka mengernyit.

“Cuma kram, Mas. Habisnya kamu tidur lama banget,” ucap Khayla dengan suara pelan. Raka melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

“Jam lima? Lama banget aku tidur,” kekeh Raka.

“Tapi masyaallahnya, itu semua cuma mimpi,” imbuh Raka membuat Khayla terdiam. Penyakitnya … sulit untuk disembuhkan, apa lagi dalam keadaannya yang sedang hamil di usia muda.

“Kalau aku benaran susul Nara, gimana, Mas?”

“HEH!” sentak Raka cepat. Matanya melotot.

“Boleh, ‘kan?” ucap Khayla. Wajah Raka memerah, matanya memincing tak suka.

“Kan aku perginya izin dulu,” ujar Khayla.

Raka menatap dalam bola mata indah milik Khyla. Dengan tangannya yang terulur mengelus lembut pipi Khayla membuat jantung wanita itu berdegup lebih cepat.

Raka tersenyum seraya berkata, “kalau begitu, aku enggak akan mengizinkanmu untuk pergi, sayang.”

Tes … entah apa penyebabnya, air mata Khayla seketika luruh. Raka memejamkan matanya sejenak, berusaha kuat.

“Kalau memang itu enggak terjadi, Alhamdulillah, tapi kalau memang itu terjadi … aku mohon kamu ikhlas, ya?” ujar Khayla. Raka tak menjawab, lelaki itu membawanya ke dalam dekapan hangat yang selalu membuat Khayla nyaman dan mensyukuri takdir baik yang Allah berikan.

“Aku mohon, jangan gini …,”lirih Raka.

Bisa Khayla rasakan, bahunya basah oleh air mata Raka. Lelaki itu menangis karena takut kehilangannya? Masyaallah, Khayla sangat bersyukur sekali dicintai oleh lelaki seperti Raka.

“Tapi, Mas, kalau takdir Allah memang seperti itu, ikhlas adalah solusinya,” nasihat Khayla seraya mengelus rambut Raka. Namun, di sisi lain, Khayla pun tak siap jika ini semua terjadi dalam waktu dekat.

Raka melepaskan pelukannya, menghapus jejak air mata di sudut mata Khayla.

“Jangan pernah bahas kematian, oke? Karena, kita enggak pernah tahu plot twist kehidupan apa yang Allah berikan.”

***

“Bang Farel ajak aku ke Jogja buat liburan sama abi. Boleh, Mas?” tanya Khayla.

Berjalan menelusuri mal untuk membeli perlengkapan bayi yang saat ini mereka lakukan. Langkah Raka terhenti, bersamaan dengan tatapan datarnya pada wanita di sampingnya ini.

“Kamu lagi hamil besar, sayang,” ujar Raka lembut. Ia tak ingin membentak hal yang tak seharusnya.

“Cuma tiga hari kok. Boleh, ya?” rayu Khayla dengan puppy eyesnya. Jika sudah seperti ini … kemungkinan besar Raka akan luluh. Karena, kelemahannya terletak di mata, apa lagi mata Khayla yang selalu membuatnya luluh.

Raka memalingkan pandangannya untuk menghindari tatapan itu.

“Enggak, Adiba,” putus Raka.

Ide cemerlang muncul di benaknya. Khayla mulai meneteskan air mata disertai isakan kecil membuat Raka menoleh dan mengajaknya untuk duduk di pilar dekat toko baju bayi.

“Jangan nangis!” ujar Raka lembut.

“Y—ya habisnya ka—kamu jahat, aku ‘kan udah lama enggak jalan sama abang. Lagian, a—aku kangen banget bisa liburan sama abang dan abi,” kata Khayla masih dengan isakan kecilnya.

Raka menghela napas. “Kamu lagi hamil besar, sayang. Aku khawatir. Nanti kalau kamu kenapa-kenapa terus enggak ada aku, gimana?”

Khayla mendesis. “Ish! Ya ‘kan ada abang sama abi.”

Raka tak menjawab, kali ini ia pasrah. Ini cara terakhirnya untuk merayu Raka.

“Kamu mau ke mana memangnya sih, hm? Nanti aku turutin deh ke mana pun kamu mau, tapi enggak sekarang, Diba! Di sini ….” Raka menempelkan lengannya pada perut buncit Khayla seraya mengelus dan mencium perut itu.

“Di sini ada sosok yang akan hadir yang harus kita lindungi, sayang. Jangan egois dulu, ya! Aku cuma pikirin kondisi kalian nantinya,” ujar Raka. Sebenarnya hati Adiba tersayat. Namun, ini adalah rencananya dan Farel untuk memberi kejutan untuk Raka.

Khayla mengalihkan pandangannya. “Yang aku mau bukan sejauh mana aku berlibur, tapi sejauh mana kehilangan itu kembali akur.”

Raka mengela napas kasar. “Gini deh. Aku izinin kamu pergi, tapi dengan syar—”

“APA SYARATNYA?!” pekik Khayla berbinar membuat Raka gemas sendiri.

“Gak sopan potong omongan orang,” cibir Raka.

“Di hari ketiga aku akan susul kamu. Kamu harus pulang sama aku, bukan sama bang Farel, oke?” Khayla tersenyum kecut, suaminya ini seolah cemburu pada kakaknya sendiri.

“Yaudah terserah kamu. Oke fine, kamu susul aku,” putus Khayla.

Dear, Zaujaty (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang