7

28 25 6
                                        

Hari-hari Levina berjalan seperti biasanya, tidak ada yang special. Bisa dibilang Levina ini cukup pintar juga, dengan segala materi yang diberikan meskipun sudah tertinggal tapi ia masih bisa mengejarnya dengan baik. Hanya satu dua pelajaran saja yang memang bukan bidangnya, itu membutuhkan waktu lebih lama untuk menguasainya.

Levina hanya ingin secepatnya mengikuti ujian penempatan, dengan begitu ia baru bisa masuk ke kelas yang memang ingin dia ambil. Ia mengetuk kepalanya pelan dengan pensil di tangannya. Ia mencoret hitungan yang baru saja ia tulis, kemudian menuliskan kembali dengan langka yang berbeda.

Pr yang menumpuk membuat Levina menjadi sibuk dan tidak mempunyai waktu untuk bersenang-senang dengan temannya. Wajar saja, murid yang lain juga sedang sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian tengah semester.

Namun, berbeda dengan Rafael, Defa dan Clara mereka tampak biasa saja dan santai menghadapi ujian seperti itu merupakan sebuah formalitas saja.

Lihatlah Defa yang saat ini malah asyik bermain game di perpus menemani sahabatnya ini. Clara terhanyut ke dalam bacaan novelnya, sedangkan Rafael mengisi TTS dengan cermat dan santai.

Levina mengamati mereka dan menghela napasnya, seolah hanya dirinya sendiri yang sedang sibuk mengerjakan soal-soal latihan juga menyelesaikan prnya.

"Hey, bisakah kalian membantuku?" bisik Levina pada mereka yang tak digubris oleh mereka.

Tetapi, Rafa meliriknya sebentar lalu kembali mengisi TTS di tangannya.

Levina pasrah dan kembali mengerjakan soalnya. Bukan ia tidak bisa, hanya saja ia merasa tugasnya tak kunjung siap. Kelar satu tumbuh seribu. Well, tidak sebanyak itu sebenarnya cuma sedikit hiperbola.

Levina menuliskan angka nol kemudian diakhiri oleh titik di sampingnya. Soal seperti ini cukup menguras energi otak dan membuat kesal. Bagaimana tidak? Sebuah soal yang rumit dan berakhir dengan jawaban jika bukan nol maka satu.

Bahkan tak perlu menghitungnya terkadang menebak dengan keberuntungan saja bisa benar jawabannya. Levina akhirnya menutup bukunya dan menatap mereka yang maish dengan kegiatan masing-masing.

Levina menaruh buku-bukunya ke dalam tas dan berbisik, "Hey, aku dah siap. Tujuan kalian ke sini apa?"

"Yes! Menang!" seru Defa dengan suara pelan dan mengayunkan tangannya ke atas.

"Nemanin kamu?" balas Clara dengan pandangan yang masih berada pada lembaran novelnya. Matanya tak berhenti bergerak meresapi kata demi kata tersebut dan masuk ke dalam otaknya untuk dicerna.

Sepertinya, novel tersebut sangat seru sampai Clara sudah membalikkan beberapa halaman dan terus membaca.

"Udah selesai? Bisa?" tanya Rafael akhirnya membuat Levina sedikit lega.

Setidaknya masih ada yang menanyakan kondisinya, meskipun rasanya bukan itu yang ia harapkan.

"Udah, kalian mau balik?"

"Ke rumah Clara, yuk!" seru Defa yang lupa bahwa dirinya masih berada di perpustakaan.

Suaranya yang sedikit besar, membuat beberapa orang memandangnya dengan tatapan terusik. Defa yang menyadari keadaan segera meminta maaf pada mereka. Lalu kembali pada teman-temannya.

Levina menoleh pada Defa dan bertanya, "Rumah Clara?"

Defa mengangguk dengan keras.

"Kau belum pernah ke sana kan? Kau harus ke sana, tempatnya bagus banget!"

"Norak!" balas Clara sembari menyimpan novelnya ke dalam tasnya.

"Yauda, ayuk!" seru Clara kemudian dan berjalan keluar perpustakaan disusul oleh temannya yang lain.

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang