21

14 14 1
                                    

"Ahhh!" pekik Levina sampai menjatuhkan dirinya ke lantai dengan kedua tangan menutup mulutnya yang mengangga.

Sebuah tubuh berlumuran darah dengan pisau tertusuk di atas perutnya dengan mata mayat itu yang masih terbuka. Tidak ada siapapun di rumah itu. Tubuh Levina bergetar, ia tidak berani mendekati mayat itu.

"Pak Ben ..." lirih Levina meraih ponselnya di tas.

Dengan tangan yang masih gemetaran, ia menelepon polisi juga Rafael. Tak peduli ia masih marah dengannya atau tidak. Tapi, untuk saat ini ia harus menelan semua egonya dan meminta bantuan.

"Ha-halo, Pak polisi? A-aku me-menumukan mayat ... Ahhhh!"

Levina terkejut ponselnya diambil paksa oleh seseorang yang tiba-tiba muncul dari belakangnya dan menyuntiknya langsung di lehernya. Otot tubuhnya seketika melemah, matanya sempat melihat siapa orang itu.

"Ra-rafa?" tanya Levina pelan dengan kesadaran yang tinggal sedikit.

Tak lama dirinya pun kehilangan kesadaran dan badannya hendak tersungkur ke lantai, tapi ditahan oleh Rafael. Rafael segera menggendong Levina meninggalkan tempat itu.

***

Perlahan Levina membuka matanya, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sebuah kamar yang dirasa sangat asing, semua barang-barang tertata dengan sangat rapi dan bersih. Tangannya meraih selimut yang menutupi tubuhnya, kemudian duduk di kasur.

"Ah!" Ia meringis pelan, tangannya memegang bagian lehernya.

Levina terdiam beberapa saat, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Matanya mencoba mencari tasnya yang ternyata berad di sofa tak jauh dari kasur. Ia langsung menyibakkan selimut dan turun dari kasur, meraih tasnya dan mengambil ponselnya.

Namun, mau sedalam apa ia mencoba mencarinya ia tetap tidak menemukan ponselnya di tas.

"Kok hilang?" Levina menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan mencarinya lagi.

"Cari ini?" tanya seorang pria yang berdiri di dekat pintu dengan memegang ponsel Levina.

"Ra-rafa? A-apa yang kau lakukan pada Pak Ben? Kau membunuhnya?" tanya Levina terbata-bata.

Rafael terkekeh.

"Ini ambillah!" Rafael melemparkan ponsel Levina yang untung saja bisa ditangkap dengan baik olehnya.

Levina segera mengecek ponselnya jika ada sesuatu yang ganjal atau hilang. Matanya membulat lalu kembali menatap Rafael.

"K-kau gak ngapain aku semalam kan?" tanya Levina ragu.

Rafael tersenyum kemudian mendekati Levina dengan pelan, Levina menelan ludahnya dan mundur perlahan.

"Ra-rafa?" panggil Leivna saat tubuhnya sudah mengenai dinding dan ia tidak bisa menjauh dari Rafael.

Sekarang, wajah Rafael sudah berada di depan matanya dan hanya menyisakan tiga cm jarak untuk keduanya. Jantung Levina berdetak semakin kencang sampai ia sendiri dapat mendengarnya. Juga, rasanya jantungnya berada di luar tubuhnya. Rafael semakin mendekatkan wajahnya, Levina menutup matanya tidak berani melihat apa yang akan dilakukan Rafael.

"Apa yang kau inginkan aku lakukan padamu?" bisik Rafael membuat Levina langsung membuka matanya dan mendorong tubuh Rafael.

"Rafa!"

Rafael tertawa terbahak-bahak.

Levina menatap Rafael tajam dan hendak keluar dari kamar.

"Kau mau ke mana? Ini hotel, aku gak ada tempat selain asrama sekolah. Lagi, kau mau tahu kan apa yang terjadi dengan pak Ben?" tanya Rafael.

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang