10

23 21 4
                                    

"Jadi, ada apa kamu manggil kita ke sini?" tanya Defa saat ia baru saja tiba di taman tempat mereka berkumpul.

Clara, Rafael juga Levina yang sudah sampai sejak tadi menoleh padanya, Defa kemudian duduk di salah satu kursi kosong yang tersedia.

"Kemarin aku lihat ada seseorang pakai baju serba hitam juga topi berkeliaran di sekolah ini, aku curiga dia punya maksud yang tidak baik," jelas Levina menatap mereka dengan sangat serius.

Clara yang mendengarnya tampak berpikir, sedangkan Defa hanya terdiam menatap mereka bertiga satu per satu.

"Jadi, kau melihatnya juga? Masih ingat saat aku ninggalin kamu waktu itu? Aku mengejarnya tapi sayang dia berhasil lolos."

Mata Levina membesar, "Jadi karena itu?"

"Ini masalah yang serius gak, sih? Apa kita perlu melapor ke kepala sekolah?" tanya Clara.

"Jangan!" seru Defa membuat mereka bertiga kaget.

Levina memiringkan kepalanya sedikit, "Kenapa?"

"Kita tidak punya bukti, mereka tidak akan mudah percaya dengan perkataan kita ..." jelas Defa.

Mereka bretiga mengangguk setuju, "Ah! Aku gak kepikiran buat bukti ..."

"Jadi, kita harus bagaimana?" tanya Clara.

"Kita juga gak tahu dia mau ngapain 'kan?" tanya Levina meyakinkan.

"Lebih baik kita lebih waspada sekarang, kalau saja nih kita lihat lagi ... kita buat bukti!" usul Rafael kemudian memasukkan permen mint ke dalam mulutnya.

Tiba-tiba, bel berbunyi dan mereka pun kembali ke kelas mereka sesuai dengan jadwal yang sudah ada. Kali ini, mereka berempat tidak ada yang satu kelas sehingga mereka berpisah di tengah koridor.

Selama jam pelajaran, Levina tampaknya tidak bisa berkonsentrasi dan tidak mendengarkan penjelasan guru di depan. Matanya terus menatap pada lembar buku tulis yang kosong. Tangannya bergerak menggambarkan goresan-goresan abstrak yang tak jelas rupanya.

Tanpa ia sadari, tangannya bergerak dan menuliskan kata 'Illona'. Mata Levina terpaku pada nama itu. Sudah sekitar dua minggu, Levina bahkan sampai melupakan Illona.

"Illona, ya ..."

Sebelah tangan Levina menopang dagunya dan tangan lainnya kembali mencoret-coret di kertas itu. Tak lama kemudian, kepala Levina terangkat dari tangannya yang dijadikan penopang. Matanya terlihat berseri dan ia tersenyum kecil.

Agaknya dia kepikiran sesuatu dan senyumnya terlihat licik juga seram. Akan tetapi, dia kelihatan sangat senang dengan apa yang baru saja ia rencanakan.

***

Malam hari tiba, saat Clara sedang mandi Levina diam-diam keluar dari kamar dengan memakai topi juga masker. Ia berjalan menuju ruang security, dan berjongkok mengamati penjaga keamanan itu yang sedang menonton pertandingan sepak bola.

Levina mengambil sebuah batu dan melemparnya ke arah lain yang berlawanan dengan tempat penjaga itu berada. Beberapa kali ia melempar penjaga itu menjadi waspada. Lalu, ia keluar dari posnya dan berdiri membawa senter.

"Siapa itu?" tanya penjaga tersebut dan berjalan menghampiri tempat terdengarnya bunyi lemparan batu tadi.

Untung saja, lemparan itu cukup jauh sehingga Levina mempunyai waktu untuk masuk ke dalam posnya. Kemudian, ia memodifikasi sistem itu yang awalnya sedang merekam menjadi berhenti. Akan tetapi, kondisi komputernya tetap nyala sehingga tidak akan curiga bahwasannya kamera CCTV tersebut sedang tidak berfungsi.

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang