8

31 24 4
                                    

Saat sebagian murid sedang mendengarkan pemateri di depan berbicara tentang ilmu yang dikuasainya. Tak lama kemudian, sebuah alunan nada terdengar yang menandakan bahwa kelas telah berakhir.

Sontak, mereka semua seperti tersadar kembali dalam kesadaran mereka. Lalu sibuk menyimpan buku-buku pelajaran mereka ke dalam tas, ada yang menaruhnya di laci. Sebab, kelas itu dan tempat duduk itu hanya mereka saja yang menempatinya.

Begitu juga dengan Levina yang sedang menyatat penjelasan guru, segera menghentikan tulisannya dan bersiap untuk pulang ke asrama. Ia berjalan dengan santai melalui koridor-koridor, kali ini ia tidak sekelas dengan teman-temannya karena mereka tidak mengambil kelas ekonomi.

Rasanya hanya Levina saja, ia berada di jurusan IPS sedangkan Defa, Clara juga Rafa mereka mengambil Saintek. Wajar saja, karena Levina akan meneruskan perusahaan ayahnya, secara tidak langsung ia harus bisa mengusai ilmu bisnis dan semacamnya.

Saat sedang asyik berjalan santai, tiba-tiba sebuah tangan menariknya.

"Akh! Hmmp ..."

Mata Levina membulat saat melihat siapa yang mendekapnya. Tangan pria itu melepaskan dekapannya dan menahan Levina di balik tembok.

"Ini, isilah!"

Pria itu memberikan sebuah formulir pada Levina dengan meletakkannya pada tangan Levina.

"Rafa! Bikin kaget aja! Ini apa? Kau mau aku isi ini sedangkan kau sama sekali gak ngajarin aku?"

Rafa memutarkan bola matanya dengan malas, "Hey, kau bakal ambil Soshum kan? Aku Saintek, gimana mau ajarin?"

Levina membenarkan perkataan Rafa, "Ta-tapi kan, aku belum ujian penempatan, otomatis kau masih bisa ngajarin kan?"

Rafa memicingkan matanya.

Ya, memang benar Levina akan mengambil Soshum bahkan kelas ekonomi yang baru saja ia ambil itu adalah kelas pilihan, bukan wajib.

"Pelajaran wajib? Memangnya kau ada kesulitan?" tanya Rafa meragukan Levina. "Kulihat kau baik-baik saja, tuh!" sambungnya.

"Hmm, iya juga sih! Tapi tetap saja ini penipuan!"

Rafael menarik tangan Levina sampai Levina tak bisa berkutik, hal itu membuat jantung Levina berdetak dengan kencang. Rafael mendekatkan wajahnya ke wajah Levina, Levina memejamkan matanya dengan kuat, tidak tahu apa yang ingin dilakukan Rafael.

Kemudian ia mendekatkan bibirnya ke telinga Levina dan berkata, "Sepertinya kau sangat ini dekat denganku ya?"

Tanpa aba-aba, Levina segera membuka matanya dan mendorong Rafael dengan keras. Rafael mundur dan tidak goyah karena ia menjaga keseimbangannya dengan baik.

"Apa sih?"

Rafael tergelak dan mengacak-acak rambut Levina. Levina hanya terdiam dan tidak tahu harus merespon seperti apa. Sepertinya ia cukup kaget juga bingung dengan kelakuan Rafael yang begitu tiba-tiba.

"Yauda, nanti malam mau aku ajari? Di perpus?"

"Boleh."

Selepas menyetujui pertemuan mereka, Levina segera kembali ke kamarnya dengan jantung yang berdetak tak karuan. Darahnya seakan sedang mengalir dengan kecepatan yang tak normal.

Brak!

Suara pintu mengagetkan Clara yang sedang mengerjakan tugasnya. Ia menoleh ke arah pintu dan melihat Levina yang sepertinya sedang tidak waras karena ia asyik berdiri di depan pintu dan mengatur napasnya yang tampaknya tidak memberikan efek apapun. Juga, memegang dadanya yang naik turun.

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang