13

32 18 5
                                    

"Siang anak-anak, seperti yang sudah kita ketahui atas kejadian semalam, saya selaku kepala sekolah meminta maaf atas kejadian tersebut dan kami akan selediki lebih lanjut. Untuk kerusakan yang ada, kami juga akan segera memperbaikinya. Dengan begitu, kalian tidak perlu khawatir akan fasilitas di sini."

Kami juga telah menyediakan hotel untuk para murid korban yang kamarnya terkena musibah, untung saja tidak ada korban jatuh. Saya selaku kepala sekolah akan mempererat keamanan di sekolah ini. Terima kasih." Selesai memberikan pidatonya, murid-murid hanya bertepuk tangan.

"Lalu, bagaimana dengan jadwal kelas kami yang berada di gedung itu?" tanya seorang murid berkacamata setelah ia mengangkatkan tangannya dan dipersilakan untuk berbicara oleh guru yang bertugas.

"Untuk sementara, bisa dialokasikan ke ruangan lain. Semuanya akan ada di dinding mading secepatnya. Ada lagi?" jawab pria itu.

Seorang perempuan dengan rambut berponi mengangkat tangannya dan bertanya, "Apakah hotel tersebut jauh dan bagaimana dengan transportasinya?"

"Hotel tidak begitu jauh, kami akan menyediakan bus untuk kalian dengan beberapa waktu yang sudah ditentukan. Jika, tidak dapat sesuai dengan jadwal kalian, maka mohon maaf transportasi terpaksa harus ditanggung sendiri." Penjelasan kepala sekolah membuat aula kembali ricuh.

Ada yang kurang setuju dengan keputusan yang dibuat, ada yang cuek saja karena memang tidak ada yang perlu ia khawatirkan.

"Harap tenang!" seru guru yang bertugas di sebelah. "Ada lagi?"

Selang beberapa menit, tidak ada yang ingin bertanya lagi.

"Baiklah, Ini adalah salah satu solusi dari kami, jadi kami mohon kerjasamanya, terima kasih." Setelah mengatakan hal tersebut, ia pun membubarkan perkumpulan itu dan para guru segerea kembali ke ruangan mereka masing-masing.

Begitu juga, dengan murid-murid yang masih memiliki kelas segera menuju kelasnya. Sedangkan Defa, Rafael, Clara juga Levina kembali ke kamar mereka masing-masing dan beristirahat.

***

Hari-hari mereka jalani seperti biasanya, rencana yang sudah mereka siapkan nampaknya belum juga mereka jalankan. Mungkin, sedang menunggu waktu yang tepat untuk menjalankan aksi mereka.

Levina mengambil laptopnya ke perpustakaan dan mencari tempat duduk yang kosong. Dibukanya layar laptop lalu menyalakannya, selang beberapa saat gambar pemandangan sebagai latar layarnya pun terlihat.

Lalu, ia mencolokkan flaskdisk dan membuka file yang sudah ia ambil di ruang kepala sekolah waktu itu. Beberapa data murid pun muncul di depan matanya. Ia langsung mencari nama 'Defa'.

Matanya berhenti di sebuah data yang memiliki foto Defa bertuliskan, 'Defa Marvill'. Ia membacanya dengan teliti dan betapa kagetnya dirinya ketika menyadari siapa dia sebenarnya.

"Dia sekolah di sini?" guman Levina pelan lalu menopang dagunya dengan sebelah tangan.

Levina segera menutup laptopnya dan keluar dari perpustakaan. Ia melirik jam di ponselnya lalu segera menuju tempat ekskul Defa karena ia ingat jadwal teman-temannya. Ruang ekskul Defa dengan pintu yang selalu terbuka dengan lebar selalu menyambut orang-orang di sekolah untuk menonton pertandingan mereka kapan saja.

Levina melihat Defa sedang melawan teman se-ekskulnya dengan peluh yang bercucuran di dahinya. Rambutnya juga terlihat begitu basah, sepertinya ia latihan dengan giat hari ini.

Sambil menunggu Defa selesai dengan aktivitasnya, ia pun duduk di salah satu bangku penonton dan menonton pertandingan mereka. Kala ada yang menang ia pasti bertepuk tangan tanpa melihat siapa orangnya.

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang