Part 2

64 40 15
                                    

Levina membalikkan badannya dari samping menjadi terlentang, saat ia mencium aroma masakan yang menyengat. Masih memenjamkan matanya, ia mencoba untuk menggerakkan hidungnya dan mencium aroma itu. Secepat kilat ia menyebak selimut ke samping dan membukakan matanya.

Belum mencuci muka maupun menggosok gigi, Levina sudah keluar dari kamarnya dan melihat Larita sedang menyiapkan piring untuknya. Masakan sudah ada di depan matanya. Mata Levina bersinar, ia segera menuju meja makan dan duduk di sana.

"Woah, tante yang masak ini semua?" tanya Levina yang sudah memegang sendok dan garpu. Tampaknya siap melahap semua makanan di depannya.

Larita terkekeh melihat Levina yang tingkahnya seperti orang yang belum makan beberapa bulan.

"Iya, kebetulan mood Tante lagi bagus. Ayo makan yang banyak!" Larita mengambil sesendok potongan omelet yang sudah berisi daging kecil-kecil juga beberapa sayur di dalamnya dan memberikannya ke piring Levina.

"Kenapa, Tan?" Levina memasukkan seseondok omelet ke dalam mulutnya.

"Pekerjaan Tante sudah beres hari ini, hehe. Oh, ya! Nanti kamu siap-siap Pak Jordan bakal datang mau memberitahu soal wasiat ayahmu."

Levina menghentikan kunyahannya, "surat wasiat?" gumannya pelan.

Setelah selesai menghabiskan makanan di pagi hari Levina membantu mencuci piring. Sedangkan, Larita segera bersiap-siap menunggu Pak Jodan datang. Sudah lama sekali Levina tidak menikmati masakan Larita. Sejak kecil, ia memang menyukai masakan Larita yang jauh lebih enak dibanding masakah para pembantu di rumahnya. Ibunya dulu jarang masak tetapi sekali masak rasanya tak jauh berbeda dengan Larita.

Larita memang dikenal jago masak dibanding Larisa-ibu Levina. Tapi, karena kesibukannya membuat Larita menjadi tidak memiliki waktu untuk masak. Memasak sudah menjadi hobinya sejak kecil, ia suka bermain dengan bumbu-bumbu dapur tapi ia tidak mau menekuni bidang itu lebih jauh. Sebab, menurutnya menjadi seorang juru masak harus berdiri selama belasan jam. Ia tidak sanggup melakukannya. Baginya itu sangat melelahkan harus berada di dekat api begitu lamanya.

Levina pun bersiap-siap usai mencuci piring dan membersihkan meja makan. Sekitar 30 menit berlalu, bel pun berbunyi dan Larita menyambut Pak Jordan untuk masuk ke dalam apartemennya.

Tanpa banyak basa-basi, Pak Jordan segera menyampaikan surat wasiat setelah ia duduk di sofa yang ada di ruang tamu.

"... dan semua harta kekayaan atas nama Jacob Alpha Maghency saya berikan kepada putri saya Levina Tiara Maghency. Dia akan menjabat sebagai Directur perusahaan Anderson saat ia berusia 25 tahun. Itu saja, saya permisi. Terima kasih untuk waktunya."

Jordan menyimpan kembali wasiat itu dan meminum teh yang ada di meja.

"Ah! Baik, makasih Pak!" kata Larita dan memberikan salaman kepada Jorda, Levina turut berdiri dan memberi hormat kecil padanya. Lalu mengantar Jordan sampai di depan pintu.

"Tan, aku tidak yakin bisa menghandle perusahaan sebesar itu," kata Levina menundukkan kepalanya.

"Levi ... kamu tenang saja, kita bakal bimbing kamu, kok. Bukan Tante, tapi kamu akan tante sekolahkan di sebuah sekolah elit Anderson. Kamu tetap harus menamatkan SMA juga berkuliah nantinya. Bagaimana?"

"Sekolah? Bukannya di sana bakal ramai ya?"

"Kamu tenang saja, sekolah itu berasrama dan akses internet mereka terbatas. Mereka tidak dapat mengakses sesuatu di luar pelajaran mereka."

***

Sebuah mobil memasuki sebuah area sekolah yang terlihat sangat megah dan elegan. Terdapat sebuah air mancur di tengah halamannya. Mobil itu memutar melewati air mancur itu dengan mengikuti jalan yang terlihat berbelok mengikuti bentuk bundaran yang ada.

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang