TIGA PULUH SATU

142 21 6
                                    

'Lima hari atau tidak sama sekali."

Charisa mengacak rambutnya frustasi. Kata kata Clinton terus berputar-putar di kepalanya. Ditendangnya kasar batu kecil yang berada tak jauh dihadapannya. Sembari mendengus sebal, ia meraih sebotol air mineral. Meneguknya perlahan.

Lima hari ya? Mengapa ini terasa begitu sulit? Bagaimana kalau Charisa tak bisa menyelesaikan masalah ini dalam lima hari? Ah, sepertinya gadis itu sudah mengetahui jawaban atas pertanyaannya yang terakhir.

Jika ia tak dapat menyelesaikan ini dalam lima hari, ia akan kehilangan Clinton, kan?

Tidak. Charisa tak ingin itu terjadi.

Ia pasti bisa. Tapi bagaimana?

Di tengah kepusingannya, seseorang menghampiri gadis itu.

"Cha?"

Sontak kepala Charisa tertoleh, ia menatap seseorang dihadapannya ini. Bibirnya seketika melengkung kebawah, tak dapat menahan perasaannya. Dengan cepat Charisa memeluknya. Menumpahkan semua kesedihannya.

"Neth, aku harus apa?"

Mendengar lirihan sahabatnya, Anneth menepuk-nepuk bahu Charisa. Sesekali mengusap lembut rambutnya. "Kamu harus tenang, Cha. Itu tahap pertama kalau mau menyelesaikan masalah."

Charisa mendongak. Menatap Anneth lesu.

"Aku ada disini kalau kamu mau cerita," hibur Anneth sembari membalas tatapan Charisa dengan lembut. Menyalurkan ketenangan yang Charisa butuhkan.

Kepala Charisa terangguk lemah, ia mengambil nafas dalam-dalam. Berusaha menangkan hatinya. Ia memutuskan menceritakan semuanya pada Anneth.

Sementara di sisi lain, Deven juga termenung. Pikirannya berkecamuk sekarang. Hanya berkat satu pesan dari ayahnya membuat Deven merasa ingin menghajar siapa saja yang lewat dihadapannya.

Untuk kesekian kali, Deven membuka handphonenya. Membaca pesan tersebut. Memastikan ia tak salah baca. Namun setelah Deven membaca ulang untuk yang kesepuluh kali, pesan itu tetap sama. Tak berubah sesuai harapannya.

Dirogohnya sebuah buku kecil kesayangannya. Buku kecil yang dulu mengawali kedekatannya dengan Anneth.

Eh? Anneth ya? Deven menyadari akhir-akhir ini ia lebih sering memikirkan gadis itu ketimbang Charisa. Apa jangan jangan...

Ah tidak, tidak. Dengan cepat Deven mengehempaskan pikiran itu jauh-jauh. Charisa akan selalu menjadi prioritasnya.

Ngomong-ngomong soal Charisa, lelaki itu merasa melihat raut kesedihan di wajah gadisnya saat pembelajaran tadi. Apa Charisa sedang mempunyai masalah? Sepertinya iya. Deven merasa harus menemui Charisa sepulang sekolah. Minimal menghiburnya dan mungkin membelikannya sesuatu. Es krim, contohnya.

***

"Pulang sama aku, Cha?"

Senyuman Charisa mengembang. Ia mengangguk cepat, yang dibalas kekehan gemas dari lelaki dihadapannya, Clinton.

Dengan pasti, Clinton menggenggam tangan Charisa. Menariknya menuju motornya yang berada di parkiran belakang sekolah. Namun langkah Charisa terhenti begitu ia merasakan ada yang menahan tangannya.

Keduanya sontak menoleh ke belakang. Penasaran siapa yang menahan gadis ini. Tampak Deven dengan tatapan datar menahan -- ah tidak, lebih tepatnya mencekal lengan Charisa. Membuat Clinton tak terima. Hey bisa-bisanya Deven menggangguk kencannya.

"Charisa pulang sama gue."

Mata Charisa terbelalak. Ia melepas paksa genggaman tangan Deven. "Deven! Gue pulang sama Clinton," protesnya.

The One And Only [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang