SEPULUH

1.4K 98 7
                                    

"Anneth kenapa sih? Tumben banget kayak gitu?" gumamnya. Dari wajahnya, nampak jelas bahwa ia sangat khawatir.

"Jo! Ada temen mu nih!" panggil Mamanya dari bawah.

Joa tersadar dari lamunannya. Dengan tergesa-gesa, ia berlari menuju ruang tamu.

"Siapa-" Perkataan Joa terputus saat melihat seseorang yang sedang duduk di sofa.

"Hai, Jo."

"Mama ke dapur dulu, ya...," pamit Mama Joa. Membiarkan putrinya bersama teman sekolahnya. Joa mengangguk patah-patah. Mama Joa berlalu menuju dapur, meninggalkan atmosfer kecanggungan yang memenuhi langit-langit ruang tamu.

"Lo ngapain disini?" Joa memutuskan bertanya.

"Gak ngapa-ngapain."

Seketika, Joa tercengang. "Lah, kalau gak ngapa-ngapain, buat apa kesini?" desisnya.

Lawan bicaranya hanya terkekeh. Seutas senyuman terbentuk di wajahnya. Kalau sedang kesal seperti sekarang, Joa terlihat semakin cantik.

"Cuma mau main doang kok, Jo."

Joa masih menatapnya kesal

"Beneran? Lo gak niat jailin gue kan, Den?" selidik Joa.

"Ya iyalah. Ngapain gue jailin lo?" balas Friden.

Joa menghembuskan nafas lega. Sedetik kemudian, ia teringat sesuatu. Sesuatu yang ingin Joa lakukan. Namun, tertunda karena kedatangan tamu tak diundang ini. Sontak, Joa berlari meninggalkan Friden yang masih berusaha mencerna keadaan.

"Loh, Joa! Mau kemana?"

Joa yang baru saja berlari meninggalkan Friden, entah dengan kekuatan apa, tiba-tiba sudah berada di depannya. Duduk selonjoran seraya memainkan HP nya di sofa yang berhadapan dengan sofa yang Friden duduki. Untuk kedua kalinya, Friden mencoba mencerna keadaan. Ia masih menatap Joa dengan tatapan bingung. Apa yang barusan terjadi?

"Kenapa lo liatin gue?" tanya Joa tanpa mengalihkan pandangannya dari gadjet nya itu.

Friden tersentak. Hey, darimana gadis itu tau bahwa ia sedang memperhatikannya?

"Kenapa? Lo kira gue gak tau kalau lo ngeliatin gue dari tadi?" Lagi-lagi, perkataan Joa membuat Friden tercengang.

Fix, dia pasti punya indra keenam.

"IIndra gue cuma lima. Jangan mikir yang enggak-enggak, Den," tegur Joa dingin. Masih berkutat dengan handphone nya.

Untuk yang ketiga kalinya, Friden tidak bisa berpikir jernih.

Joa belajar ngeramal dari mana sih?

"Dibilangin juga jangan mikir yang enggak-enggak. Gue gak pernah belajar ngeramal, Friden.

Untuk yang kali ini, Friden tidak bisa diam saja.

"Jo! Kok lo tau apa yang gue pikirin sih? Lo belajar baca pikiran darimana?"

Joa mengalihkan pandangannya menuju Friden. "Kalau gue tau apa yang lo pikirin, bagus dong."

Friden menyerngitkan dahinya. "Bagus gimana?"

"Ya bagus, berarti gue termasuk cewek yang peka," terang Joa. Pandangannya kembali menatap HP nya.

Friden terdiam. Ia menatap Joa. Lekat-lekat. Joa yang sadar sedang diperhatikan, segera mengalihkan pandangannya ke orang di hadapannya. Mereka bertatapan. Tatapan datar. Hingga akhirnya, Joa memutuskan buka suara.

"Kenapa sih?"

"Gue baru nyadar sesuatu," ucap Friden.

Giliran Joa yang menyerngitkan dahinya.

The One And Only [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang