TIGA PULUH LIMA [LAST]

339 25 2
                                    

Disclaimer : chapter ini akan agak panjang

"Dev, ke kantin, mau?"

Deven menggeleng mendengar ajakan Anneth. "Maaf, Neth. Aku mau ngobrol sama Charisa."

"Ah gitu, yaudah nggak papa." Anneth tersenyum. Lantas berlalu menuju kantin.

Sepeninggalan Anneth, Deven melangkahkan kakinya menuju taman sekolah. Berniat menemui Charisa. Siapa sangka? Di tengah perjalanan, Deven bertemu dengan Clinton.

"Mau kemana, Dev?"

Deven menunjuk taman sekolah dengan dagunya. Tak tertarik mengobrol dengan Clinton.

"Oh, janjian sama Charisa?" 

"Iya. Apa peduli lo?"

Mendengar respon dari Deven, Clinton tertawa. Lelaki ini lumayan sensitif dengan semua hal yang berkaitan dengan sahabat kecilnya itu. Clinton sangat yakin bahwa Deven menyukai Charisa. Mau bertaruh? Clinton tak takut.

"Jangan sakit hati ya." Clinton menyampaikan pesannya sebelum berjalan meninggalkan Deven. Meninggalkan lelaki itu dengan sejuta tanya di otak nya.

'Sakit hati'? Untuk apa?

Malas berfikir terlalu keras, akhirnya Deven melanjutkan langkahnya menuju tempat Charisa berada.

"Hai, Cha!"

Charisa menoleh, tersenyum. Berusaha menyembunyikan kegugupannya.

"Duduk, Dev." Charisa mempersilahkan sahabat laki-lakinya ini duduk di sebelahnya. Deven menurut. Ia mengambil tempat di sebelah Charisa. Dengan posisi agak miring, menghadap sahabat kecilnya ini.

"Mau ngomong apa, Cha?"

Charisa masih terdiam. Memilih kata yang tepat. setelah merasa siap, Charisa berusaha menatap Deven. 

"Kamu sudah baikan?"

Deven menyerngit mendengar pertanyaan Charisa. "Baikan dalam hal?"

"Hati."

"Oh..." Deven mulai paham maksud Charisa. Ia bertanya mengenai perasaannya setelah kejadian kemarin menimpa keluarganya. 

"Sudah lumayan kok, Cha," balas Deven akhirnya. Ia kembali menatap mata Charisa. Baru Deven sadari, tersirat kegugupan di mata gadis itu. Merasa Deven memperhatikannya, Charisa segera menunduk. Memutus eye contact mereka.

"Cha, kenapa?" Deven menangkap gurat cemas dari gadis di sebelahnya ini. Diraihnya tangan Charisa. Lantas menggenggamnya erat. "Cha?"

Baiklah, tidak ada waktu lagi. Tidak ada alasan untuk menunda lagi. Setelah menarik napas panjang, kepala Charisa terangkat. Menatap mata Deven lekat. "Gue mau pacaran sama Clinton, boleh?"

***

"Anneth, nggak boleh! Kamu yakin mau bolos?"

Anneth mengangguk mantap. Isakannya sebisa mungkin ia tahan, agar Joa tak mengetahuinya, tentu saja. Sementara Joa, ia mengusap dahinya frustasi. Bagaimana tidak? Murid seteladan Anneth nggak ada angin nggak ada hujan mau bolos? Ya Tuhan, tolong Joa saat ini.

"Ya udah sini." Joa menarik tangan Anneth menuju UKS. Begitu sampai, Joa menyuruh sahabatnya untuk berdiam diri di sana terlebih dahulu. Dirinya ingin membeli makanan untuk gadis itu. 

"Jangan kemana-mana." Anneth mengangguk menanggapi pesan Joa. Tepat setelah Joa menutup pintu, tangisnya pecah. Semua pertahanan yang ia bangun jauh jauh hari, runtuh sia-sia.

The One And Only [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang