DUA PULUH SEMBILAN

161 25 3
                                    

Disinilah Charisa dan Deven berada. Danau indah yang menjadi tempat pelarian keduanya jika membutuhkan ketenangan. Charisa belum mendengar penjelasan apapun dari Deven. Sedari tadi ia hanya menemani lelaki itu menatap danau. Tak ada yang berminat membuka percakapan. Hening. Hanya angin yang menemani.

"Dev..."

Tak tahan dengan kesunyian ini, Charisa akhirnya bersuara. Deven menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Ia menatap Charisa. Tatapan sayu.

Charisa tersenyum getir. Ia tak pernah melihat Deven seputus-asa ini. "What's the problem?"

"Mama gue selingkuh, Cha."

"Hah?!"

Siapapun pasti akan kaget mendengar pernyataan seperti itu, begitu pula Charisa. Ia kini mengerti mengapa Deven tampak sangat terpukul. DIrangkulnya bahu sahabatnya itu. Lantas mengusapnya halus. Memberi ketenangan.

"Jangan langsung gegabah, Dev. Cari tahu dulu kebenarannya," tenang Charisa. Intonasinya dibuat selembut mungkin.

"T-tapi bagaimana kalau mama sama papa sampai cerai?"

Deven menundukkan kepalanya. Bayang-bayang kejadian di dekat Cafe tadi menghantuinya. Dengan frustasi, Deven melempar batu besar yang berada tak jauh didepannya, ke danau. Yang membuat percikan air yang cukup besar.

Charisa yang melihatnya, menjadi prihatin. Dengan pasti dipeluknya tubuh sahabatnya itu. Deven tak kuasa menahan tangisnya. Saat itu, danau menjadi saksi runtuhnya pertahanan seorang Deven didepan sahabat yang sangat disayanginya.

***

"Gimana, Neth? Udah baikan?"

Anneth mengangguk seraya tersenyum. Diraihnya minuman yang sempat dibuat oleh mamanya Charisa. Dingin. Tidak heran, minuman tersebut sudah ada sejak Charisa meninggalkannya.

Terhitung sudah satu jam Charisa pergi bersama Deven. Dan satu jam pula Anneth gelisah terkait keadaan Deven. Tadi, ketika Deven berdiri di depan kamar Charisa, Anneth sempat melirik lelaki itu. Keadaannya sangat berantakan, itulah yang dipikirkan oleh Anneth. Baik Deven maupun Anneth, keduanya telah bertemu dengan ketakutan terbesarnya.

Kringg...

Anneth menoleh pada handphonenya. Lantas meraihnya. Menjawab panggilan tersebut.

"Halo Drew," sapa Anneth membuka percakapan.

Andrew yang mendengar suara Anneth, menghembuskan nafas lega. Ia kira Anneth masi down karena Aland telah berhasil menemukannya. Namun ternyata sahabatnya itu telah tenang sekarang.

"Gimana kabarnya?"

Anneth terkekeh. "Ngga usah basa-basi. Kamu pasti udah tau kejadian tadi kan?"

"Ketauan ya, Neth?"

"Banget!" seru Anneth cepat. Yang membuat Andrew tertawa pelan di seberang sana.

"Hahaha, iya deh, aku sudah tau. Kamu ngga diapa-apain kan?"

"Enggak, Drew. Tenang aja," ucap Anneth menenangkan Andrew. Terdengar decakan Andrew begitu Anneth menyelesaikan ucapannya.

"Ck, gimana bisa tenang? Aku ngga bisa jagain kamu disana."

"Makanya main-main ke sini, masa di Florida terus," ungkap gadis itu diselingi tawanya. Jujur saja, Anneth sangat mengharapkan Andrew menghampirinya. Ia ingin ditemani oleh sahabatnya selama di Florida itu.

Andrew menangkap harapan Anneth, ia paham kenapa Anneth begitu menginginkan dirinya mengunjunginya disana. "Iya tuan putri, sebentar lagi aku kesana."

Mendengarnya, Anneth terperanjat. "Hah? Serius Drew? Ngga lagi bercanda kan?"

"Ngga, Neth."

"Yeyy, makasih Andreww, aku tunggu ya..."

Andrew mengangguk. "Oke, see you."

Begitu panggilan dimatikan, senyuman merekah di wajah gadis itu. Yang malah membuat Joa heran dibuatnya. "Neth, kenapa?"

"Andrew mau kesini, Jo!"

Joa tersenyum, ikut bahagia mendengar berita itu. Hatinya juga lega sahabatnya ini sudah tenang. "Bagus deh kalau gitu."

Bruk.

Joa dan Anneth yang sedang berbahagia tiba-tiba terkagetkan dengan datangnya Charisa yang langsung menghempaskan tubuhnya di kasur kesayangannya. Tanpa merasa berdosa, ia melemparkan tas yang sempat ia bawa tadi.

"Cha! Salam dulu dong..."

"Ya ya ya," balas Charisa malas. Ia sudah memejamkan matanya. Mencoba menenangkan pikirannya.

Melihat Charisa tampak frustasi, Anneth dan Joa memilih diam. Mereka kembali mengemil jajanan yang disediakan tuan rumah.

"Deven kenapa, Cha?"

Akhirnya Charisa bangkit dari posisinya. Ia duduk di kasur, menatap kedua sahabatnya yang penasaran. "Problem keluarga, gue ngga bisa cerita tanpa izin ke dia."

Joa mengangguk paham. Ia pun memutuskan tak bertanya lebih jauh. Berbeda dengan Joa, Anneth malah meraih handphonenya. Berniat mengechat Deven.

'Dev, kamu ngga papa?'

Dengan cepat, Anneth menghapus pesannya tadi. Itu bukanlah kalimat yang tepat.

'Dev, aku temenin mau?'

Ah apalagi ini, tidak tidak. Untuk kedua kalinya, Anneth menghapus pesannya.

'Sedih boleh, tapi jangan berlarut ya, masih banyak yang sayang kamu'

Merasa sudah mengetik kalimat yang pas, Anneth pun mengirimnya.

Anneth tak tahu, di seberang sana, Deven membaca pesan dari gadis itu dengan senyuman lebar yang menghiasi wajah tampannya.

***

"Mau nunggu berapa lama lagi, Cha?"

Charisa terdiam. Ia menangkap nada lesu dari cara bicara Clinton. Ditatapnya lelaki itu. Dan benar saja, Charisa dapat melihat bahwa Clionton sudah lelah menunggunya.

"Maaf aku bikin kamu nunggu lama, aku cuma-"

"Deven kan?" Clinton memotong pembicaraan Charisa. Jujur saja, ia sedikit kesal dengan persahabatan gadisnya ini dengan Deven. Bagaimana tidak? Charisa rela mengundur-undurkan hubungannya demi lelaki itu.

"Seorang sahabat seharusnya mendukung, Cha. Bukan mengekang."

Kepala Charisa tertunduk. Hatinya membenarkan ucapan Clinton. Namun disatu sisi, ia merasa tak enak. Deven baru saja mengalami kecewa terberatnya. Bagaimana ia bisa tega membiarkannya sendiri?

"Clin, aku mohon, kasih aku kesempatan sekali lagi," pinta Charisa yang dibalas hembusan nafas Clinton.

"Baiklah. Lima hari atau tidak sama sekali."
_____________________________________

Hai guys !
Keknya aku akhir akhir ini demen up ya, jangan lupa vote oke?
maksi sekali lagi karena udah nungguin ini cerita.
love youu !

- Minggu, 14/02/2021 -



The One And Only [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang