TIGA PULUH EMPAT

165 20 2
                                    

Anneth terduduk termenung di kursi nya. Di seberang sana, terdapat Deven dan Charisa yang asik berbincang. Lalu di belakangnya ada Clinton yang asik menyimak pembicaraan dua insan itu. Ah tidak, sepertinya ia lebih asik memperhatikan Charisa.

Tangan Anneth menggenggam kotak kecil pemberian Aland kemarin. Ia membuka kotak tersebut untuk kesekian kalinya. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk bulan sabit. Hatinya terus bertanya-tanya mengapa Aland memberikan itu. Seketika ia teringat pesan Aland sebelum lelaki itu pamit. 

'Gua duluan ya. Ada surat di dalamnya, jangan lupa dibaca.'

Seketika Anneth mengobrak-abrik kotak kecil tersebut. Mencari keberadaan surat yang dimaksud Aland. Gotcha! Gadis itu mendapatkannya. Dibukanya surat tersebut dengan tangan yang bergetar, takut akan isinya.

Perlahan, Anneth membaca kata demi kata yang tertera di kertas berwarna kecoklatan itu.

Hai, Delliecia. 

Gue nggak mau bertele-tele, so let's to the point.

Kalung itu nggak ada racun atau semacamnya, lo nggak usah khawatir. Pakai. Gue nggak menerima penolakan. 

Luka kemaren gimana? Sudah sembuh, ya? Ah, tangan lo sepertinya tidak cantik lagi tanpa luka itu. Saat gue kembali, ingatkan gue untuk mengukir luka yang lebih indah di tangan lo, oke?

Well, see u, Dellicia.

Anneth tertegun begitu selesai membaca surat itu. Pandangannya menjadi kosong. Ia menghembuskan napasnya. Jadi Aland pamit ya? Tapi kemana?

Ditengah lamunannya, Deven memperhatikan tingkah laku gadis di seberangnya. Lelaki itu seketika lupa pembahasan yang menjadi topik pembicaraannya dengan charisa. Pembahasan yang justru membuatnya kembali mengingat kekecewaannya.

"Neth, ngantin bareng, yuk?"

Reflek Anneth menoleh pada suara yang memanggilnya. "Iya, Dev."

Melihat interaksi keduanya, Charisa tersenyum. Ia melirik Clinton. Mengedipkan satu matanya, memberi kode untuk Clinton agar ke kantin bersama saat istirahat nanti. Clinton paham benar maksud Charisa. Ia mengangguk, lantas terkekeh. Mengiyakan.

***

"Ada masalah, Dev? Kamu terlihat berantakan," tanya Anneth khawatir. 

Deven menatap gadis di hadapannya. Lantas kembali menyeruput minuman yang baru saja ia pesan. "Ya begitu deh," balas Deven seadanya.

Dahi Anneth mengerut. Oh ayolah, Anneth sedang serius!

"Deven...."

Terdengan decakan pelan dari lelaki yang sedang bersama Anneth ini. "Oke, fine."

Deven memperbaiki posisi duduknya. Lantas menatap Anneth dalam. Tersirat kekecewaan dari tatapannya.

"Mama nanya aku mau ikut siapa," ungkap Deven. Kepalanya tertunduk. Tak mampu menahan kesedihan.

Anneth tertegun. Ia tersenyum tipis. Lantas menyodorkan mangkuk berisi bakso yang belum tersentuh sama sekali oleh Deven. "Ya udah, makan dulu gih. Kamu butuh banyak tenaga."

Terlihat Deven menggeleng pelan. Ia tak nafsu makan sekarang.

"Deven..." Anneth masih saja berusaha membujuk Deven. Namun apa yang harus diharapkan dari seorang lelaki yang sedang sakit hati?

Baiklah, Deven mengalah untuk saat ini. Diterimanya sodoran gadis di depannya, lalu melahap seporsi bakso tersebut.

Anneth yang melihatnya, tersenyum cerah. Tangannya terangkat untuk mengacak surai hitam lelaki itu. Terkekeh pelan melihat Deven yang tampak sedikit terganggu dengan kegiatannya.

The One And Only [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang