Sedari tadi, aku memikirkan bagaimana balasan Davyn, apakah dia akan meresponku atau tidak.
Sebenarnya, aku takut ketika kita menjadi canggung. Hanya itu saja, namun semuanya sudah terjadi. Aku juga tidak berharap bahwa Davyn akan membalas cintaku. Ya, aku tidak peduli, mungkin.
Sekarang aku sedang berada di campus. Aku sedang duduk di kursi depan kelas. Hanya menatap hujan yang sedang turun sekarang. Banyak sekali butiran air yang turun. Aku melihat satu persatu percikan hujan.
Sambil melihat percikan hujan tersebut, aku terus-menerus memikirkan bagaimana balasan Davyn.
"Suratnya dibaca gak, ya?" pikirku.
Sekarang aku malah berharap bahwa surat tersebut tidak dibaca saja. Aku malu sekali rasanya. Davyn juga belum datang.
"Huh, gue harus gimana dong kalo Davyn dateng," ucapku frustasi.
"Aneh lo ngomong sendirian," ucap Kak Jaxon yang entah darimana datangnya.
"Astagfirullah." Kayaknya dosaku berkurang jika aku bertemu dengan Kak Jaxon. Namun, setelah ini aku pasti kesal lagi.
"Ck, lo suka banget hujan, ya," ucap Kak Jaxon sambil berdiri dan menyilangkan tangannya.
"Lumayan," ucapku singkat.
"Gue juga dulu suka, tapi sekarang nggak," ucap Kak Jaxon curhat.
Aku masih terdiam tak menjawab. Tumben Kak Jaxon tidak marah-marah.
"Kenapa, Kak?" tanyaku penasaran.
"Kepo lo!" ketusnya.
Benar-benar menyesal aku menanyakannya. Diam salah, bicara salah.
"Kak, mmm." Sebenarnya aku berniat untuk menanyakan bagaimana orang tua Kak Jaxon. Soalnya saat aku di rumahnya, cuma ada Kak Hanna dan Hanny saja.
Mereka juga tidak berbicara tentang orang tua. Namun, aku merasa tidak sopan jika bertanya hal pribadi tersebut.
"Otak lo pasti bertanya-tanya, kan?" ucap Kak Jaxon dingin.
"Gr banget."
"Huh, sebenarnya kejadian ini gak menarik sih, cuma karena gue gabut aja makanya gue ceritain. Ortu gue kecelakaan pas hujan, gue masih umur sepuluh tahun dan saat itu gue sama Ortu gue di mobil bertiga. Kak Hanna dan Hanny gak ada. Kita kecelakaan dan yang selamat cuma gue," ucap Kak Jaxon sendu.
Baru kali ini aku terharu dengan Kak Jaxon. Dibalik sifatnya yang tempramental, ada kejadian pilu yang membuatku merinding mendengarnya.
Apalagi Kak Jaxon benar-benar melihat kejadian tersebut.Aku benar-benar terdiam seketika. Tidak enak jika berbicara.
"Kak, makan yuk," ajakku. Jarang sekali aku mengajak seseorang. Apalagi ini Kak Jaxon.
Entahlah setelah Kak Jaxon bercerita, aku seperti merasakan kejadian pilu tersebut dan berusaha untuk menghibur Kak Jaxon.
"Lo gak usah kasian sama gue," ucap Kak Jaxon sarkas.
"Yaudah terserah orang gue laper, gue juga cuma ajakin doang," ketusku.
"Lama-lama songong ya, lo," kesal Kak Jaxon.
"Huh." Sepertinya aku selalu serba salah di sini.
"Lo makan sendiri aja, gue gak laper," dingin Kak Jaxon.
Aku hanya bisa menghembuskan nafas kasar.
"Gak jadi, gue mau ngeliat hujan aja." Niatku untuk ke kantin kuurungkan karena sebenarnya aku juga malas kemana-mana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Another Side (End)
RomanceAir mataku satu per satu mulai menetes deras, aku berusaha untuk menghapusnya agar tidak jatuh terlalu banyak. "Gak usah salahin diri lo, lo gak salah, yang salah gue, gue yang salah mencintai seseorang." Aku pun langsung pergi menuju kamar mandi da...