21

0 0 0
                                    

Aku menatap langit malam dengan tatapan kosong. Bintang bertebaran dimana-mana. Bulan menyinari malamku. Aku sendirian sekarang, duduk dalam senyapnya malam.

Biasanya aku senang ketika malam. Namun mengapa sekarang aku sedikit hampa?

"Sruppp." Aku menyedot ice coffe latte.

Malam-malam bukannya minum yang hangat, aku malah meminum yang dingin. Rasa dingin mulai menghampiriku sekarang.

Aku memeluk diriku sendiri dengan nyaman. Rasa ingin dipeluk menyapaku.

"Astagfirullah." Aku lalu teringat dan menggelengkan kepalaku.

Drtttt

Ponselku berbunyi, nadanya kubuat getar jadi aku belum menyadarinya.

Drtttt

Saat aku melihat ke bawah, aku baru menyadari bahwa ada yang meneleponku sejak tadi. Sudah sepuluh panggilan tidak terjawab.

Aku langsung mengangkatnya dan berbicara.

"Haloo," pekik Devika dari seberang sana.

"Hmm." Aku tidak terlalu menghiraukannya dan masih memeluk diriku.

"Lo di mana?" tanya Devika panik.

"Di Bogor."

"What, ngapain lo di sana? Nyokap lo telfonin gue mulu tau gak, dia khawatir sama lo," panik Devika.

"Tumben khawatir," pikirku.

"Gue lagi gabut aja haha, makanya gue ke sini," ucapku terpaksa.

"Lo gila, ya? Punya masalah apalagi sih lo sekarang, cerita!" ucap Devika kesal.

"Gak sekarang yaa, gue lagi duduk di rumput udah terlanjur nyaman."

Aku memang sedang di Bogor sekarang, sejak aku mengisi bensin dan menyelesaikan tugas kuliah, aku buru-buru jalan ke sini.

Tidak ada keperluan apa-apa sih, cuma ingin travelling saja. Malah sekarang aku sedang duduk di rumput luas dan menggelar karpet sambil meminum coffe. Aku membelinya di toko dekat sini.

Aku tidak berniat untuk beranjak. Rasa malas menghantamku. Aku kepikiran tentang kotak mini yang diberikan Davyn.

Aku langsung membuka kotak tersebut. Memegang gelang yang telah diberikan Davyn. Tatapanku masih kosong. Menatap tak percaya. Aku senang sekali karena Davyn memiliki perasaan yang sama denganku. Namun, aku tidak bisa menerima cintanya. Ini terlalu berbahaya.

"WOYYY HALLOOOOOOO," teriak Devika di seberang sana.

Aku menaruh ponsel tersebut di bawah dan sedikit terkejut dengan teriakan Devika.

"Apa," lesuku.

"Gue ngomong daritadi dan cuma dijawab apa! Balik Quel, besok ada kelas Pak Rehan."

"Yaelah Pak Rehan siang kan kelasnya,
santai."

Aku tidak terlalu memedulikan hal tersebut dan masih menatap gelang lucu ini.

"Gak usah aneh, cepet balik lbu lo khawatir, Queeell."

"Iya iya gue balik, ga usah bawel deh lo." Aku pun mematikan telepon sepihak dan bersiap-siap untuk pulang.

"Baru juga jam sembilan malem, huh," ucapku santai.

Seseorang melihatku dari kejauhan. Ia  menatapku khawatir. Aku yang ditatap tidak menyadari sama sekali dengan keberadaannya. Ia ternyata mengikutiku sejak aku pulang kuliah. Ia khawatir jika aku kenapa-napa.

Another Side (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang