22

1 0 0
                                    

"Quel, kenapa sih lo bisa pulang semalem itu." Devika memelukku erat.

Aku hanya tersenyum tipis dan tidak ingin membahas masalah semalam dulu. Perasaanku masih sakit.

"Mmm, Vik." Aku ragu ingin bercerita atau tidak.

"Kenapa, Quel?" tanya Devika penasaran.

Setelah lama aku berkutat dengan pikiran, aku pun langsung bercerita tentang Davyn, mulai dari ia yang menembakku sampai kejadian yang tidak mengenakan semalam.

"Jadi..." Devika tidak bisa berkata-kata lagi dan memelukku erat.

Aku merasakan kesakitan lagi dan menumpahkan air mataku. Aku tidak kuat dengan hal ini. Apakah aku bisa melewati hari-hari tanpa menyapa Davyn? Apakah Davyn tidak ingin berbicara denganku lagi?

Semua pertanyaan aneh memutari kepalaku. Aku takut, sakit, sedih.

"Quel lo mau ini gak, tadi gue beli di kantin enak banget tauuuuu," ucap Devika sambil memberiku corndog.

"Gue lagi gak nafsu makan, Vik," ucapku sendu menatap ke arah luar dengan kosong.

"Aaaaaa." Devika mencoba untuk memasukkan makanan tersebut ke dalam mulutku.

"Mmmmm gak mau," ucapku mengelak.

"Ih makan nanti lo sakit, gue tau lo semaleman nangis, kan?" perhatian Devika.

"Gak laper."

"Kalo lo sakit lambung gimana? Bahaya, pliss deh."

"HACIM," bersinku.

"Tuh kannn bersin lo kambuh, makan nih cepet." Devika lalu menyodorkan corndog tersebut kepadaku.

Aku hanya nurut dan memakannya dengan tidak minat.

Davyn memasuki kelas dan langsung duduk di depan. Ia menatapku sekilas. Hanya sekilas. Benar saja kalau Davyn marah kepadaku. Aku tahu kata-kata ayahku lumayan menyakiti hatinya.

Mukaku sudah amburadul sekarang. Bengap. Seperti habis ditonjok.

"Hei, gak usah diliat ya, lo balik aja ya, lagian hari ini cuma ada kelas Pak Rehan doang gak papa," ucap Devika menenangkan.

"Gak usah Vik, gue mau di sini aja, kalau di rumah tau sendiri nanti Pak Rehan bakal ngomel," ucapku berusaha sesantai mungkin.

"Ih jaga kesehatan lo, jangan sampai sakit, plis deh," kesal Devika.

"HACIM." aku mulai bersin lagi. Takutnya semuanya akan lebih parah.

"Tuh kan."

"Gue ke kamar mandi dulu deh, lo sini aja yaa," ucapku yang langsung pergi ke kamar mandi.

Saat aku melewati Davyn, perasaanku sakit lagi. Ia menatapku khawatir karena mataku yang bengap. Aku tidak menghiraukan hal tersebut dan cepat-cepat pergi ke kamar mandi.

Aku membilas wajahku dengan air. Berusaha untuk tidak terus menangis. Berusaha untuk tidak berlarut-larut dalam masalah karena yang berlarut-larut itu gak baik.

"Astaghfirullah," ucapku di dalam hati sambil menarik nafas panjang.

Tatapanku terpana ke dalam cermin. Terpana karena kaget melihat wajahku ini. Ternyata mataku lumayan parah. Bengap karena menangis.

"Huh, gue gak boleh gini." Aku menenangkan diriku sendiri. Tidak boleh terlalu memikirkannya.

"HACIM," bersinku lagi.

Sepertinya bersinnya lumayan parah. Aku tidak mau hal ini akan semakin parah. Aku mengambil obat yang selalu kubawa untuk mengatasi alergi agar membaik.

Another Side (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang