3

3 0 0
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore dan aku masih membereskan ruang kelas ini. Semuanya sudah kusapu, sisanya tinggal dipel saja. Aku benar-benar muak dengan Kak Jaxon ini. Bisa-bisanya dia memaksaku untuk melakukan pekerjaan yang
seharusnya tidak ku kerjakan.

Aku memang ingin menolak mentah-mentah, namun takut semuanya semakin rumit.

"Yang bersih ngepelnya."

Kak Jaxon sedari tadi memang berada di depan pintu, seperti seorang bos yang menyuruh anak buahnya untuk bersih-bersih.

"HACIM."

Oh tidak, aku mulai kambuh lagi, ini tidak boleh terjadi. Aku benar-benar harus sehat karena masih ada tugas Pak Rehan yang belum terselesaikan.

"HACIM, HACIM."

Bersinku makin parah, namun aku tetap mengepel lantai ini hingga selesai.
Aku berusaha untuk tetap kuat sampai semua ini terselesaikan.

"Kenapa lo?" tanya Kak Jaxon.

"Gak papa, Kak," ucapku biasa saja.

Setelah selesai, aku pun membuang air pelan ke kamar mandi dan merapikan pakaian. Aku juga langsung mengambil tas dan bersiap-siap untuk pulang karena kelasku sudah selesai.

"Lo mau ke mana?" tanya Kak Jaxon tegas.

"Pulang," ucapku malas sambil membelakangi Kak Jaxon. Kesabaranku sudah mulai habis, buat apa coba dia bertanya seperti itu, aku benar-benar muak.

Namun, tiba-tiba Davyn datang dari arah depan dan tidak sengaja melihat hidungku yang merah. Aku malu setengah mati dan berusaha untuk menyembunyikan hidungku agar tidak terlihat.

"Lo kenapa, Quel?" tanya Davyn lembut.

"Ng-gak, gue gak kenapa-napa," ucapku sedikit terbata.

"Hidung lo merah banget, lo sakit?" tanya Davyn lagi yang malah membuatku nyaman.

"Gue gak kenapa-kenapa Vyn, serius." Aku masih berusaha menyembunyikan hidungku walau sudah terlihat.

Tanpa disangka, Kak Jaxon mendengar percakapan kami berdua dari belakang.

"Kenapa lo!" ucapnya ketus.

"Dasar pengganggu," ucapku di dalam hati.

Aku pun hanya menggelengkan kepalaku saja.

"Lo mau gue anter pulang?" tanya Davyn lembut.

"Gak usah Vyn, gue bawa motor kok."

"Kalo gitu gue jaga lo dari belakang, gue juga bawa motor," tawarnya yang membuat hatiku semakin meleleh.

"Apa-apaan sih alay banget!" ucap Kak Jaxon yang langsung meninggalkan kami.

Aku tidak peduli dengannya lagi, sekarang rasa lelahku sudah berubah menjadi senang. Aku tidak begitu mengerti perasaan apa ini, tapi yang jelas aku merasa senang sekarang.

Namun, aku baru teringat kalau tugas Pak Rehan belum diselesaikan, jadi sepertinya aku tidak bisa pulang sekarang. Dasar Pak Rehan menganggu saja.

"Mm Vyn, makasih banget ya, tapi gue harus ngerjain tugas Pak Rehan sekarang, jadi gue gak bisa pulang."

"Oh gitu, sorry ya karena tadi gue gak bisa bantu lo," ucapnya sopan.

"Gak papa kok, lagian yang salah juga gue, kenapa lo yang harus minta maaf?"

"Jadi lo mau ke mana?"

"Gue paling ke Cafe depan Campus, yaudah ya, gue pergi dulu."

Aku pun langsung buru-buru menaiki si Bobby dan langsung pergi ke cafe.

"Astaghfirullah deg degan banget gue, eh gak boleh, dosa Quel." Aku memegang jantungku yang berdegup sangat kencang.

Jika dilihat dari jalanan, mungkin aku seperti orang gila yang berbicara sendirian.

Aku pun memasuki cafe tersebut dan langsung memesan makanan, sepertinya aku akan lama di sini.

Menu yang kupesan, yaitu ice coffe dan roti bakar. Setelah itu, aku pun mengerjakan tugas Pak Rehan secepat mungkin.

( ╹▽╹ )

Saat di rumah, aku sudah terasa sangat lelah, tugas dari Pak Rehan pun masih belum selesai. Aku langsung merebahkan tubuhku ke kasur dan berniat untuk beristirahat sebentar.

Namun, sebelum aku memejamkan mata, ponselku berdering. Jujur aku malas sekali mengangkatnya dan berniat untuk mengabaikannya saja.

Semakin ku diamkan semakin kesal, jadi aku terpaksa untuk mengangkatnya saja dan aku biarkan tergeletak di kasur.

"Halo." Suara Devika langsung menyeruak di kamarku.

"Kenapa sih." Aku sedikit kesal karena ingin sekali beristirahat.

"Ih tumben jutek amat si, gue cuma mau tanya lo baik-baik aja, kan?"

"Iya gue nggak apa-apa kok gue cuma pengen istirahat, capek banget nih," ucapku sambil memeluk bantal guling.

"Gue tadi nggak sengaja ngeliat kak Jaxon marah-marah, lo nggak diapa-apain kan sama dia."

Aku berniat untuk tidak menceritakannya kepada Devika karena sangat malas saat ini.

"Sumpah ya Vik, gue tuh lagi males banget jadi please jangan tanya gue sekarang."

"Ih lo mah gitu banget sama gue, gue kan cuma nanya doang."

Kalau gini terus urusannya panjang dan aku pun akhirnya menceritakannya kepada Devika sambil memeluk bantal guling.

"Jadi Kak jaxon itu tadi nyuruh gue buat bersihin kelas yang abis gue pake, gue nggak ngerti kenapa, gue kan lagi capek banget dan dia nyuruh kayak gitu alasannya si karena telat, kayak enggak nyambung aja. Padahal dia kan cuma senior," cerocosku kesal.

"We we we sabar dong Mba, pelan-pelan tarik nafas," sambung Devika seperti orang yang ingin melahirkan.

"Lagian, dia tuh udah buang-buang waktu gue, udah bikin gue cape, abis itu gue ditinggalin gitu aja lagi."

"Sabar sabarrrrr."

"Eh tapi gue seneng banget karena ketemu Davyn dong dan dia niat buat nganterin gue pulang," ucapku senang sambil membanting bantal gulingku.

"DEMI APA! Eh wait deh, lo suka sama Davyn?" tanya Devika yang membuatku langsung terdiam seketika.

"Mm gak kok gak," ucapku sambil berfikir.

"Terus abis itu dia ngapain lagi," tanya Devika kepo.

"Abis itu gue ke Cafe karena tugasnya Pak Rehan, jadinya gak jadi haha."

Aku mengambil bantal gulingku yang sempat ku buang. Aku hanya memikirkan perkataan Devika. Apa benar aku suka dengan Davyn? Sepertinya tidak.

"Tes tes lo ke mana sih?" tanya Devika yang membuatku terkejut karena sedari tadi melamun saja.

"E-h ng-gak, hmm kayaknya gue harus ngerjain tugasnya Pak Rehan dulu deh, Vik."

"Oh yaudah deh kalo gitu gue mau makan juga, btw lo kan alergi debu, tadi lo ga papa, kan?" tanya Devika yang sangat peka.

"Kaga elah cuma merah doang," candaku sambil membuka laptop untuk mengerjakan tugas Pak Rehan.

"Huh bilang aja lo bersin-bersin kayak kemaren dan malu karena diliatin Davyn," ucap Devika nyerocos.

"Kaga ya, udah ah kalo ngerumpi mulu gak kelar-kelar, yang ada gue diomelin lagi kalo nggak nyelesain tugasnya Pak Rehan."

"Yaudah sono, selamat bermalam dengan tugasnya Pak Rehan, bye."

"Dih dasar."

Setelah itu, Devika langsung menutup telfonnya dan pergi begitu saja.

Aku tidak mengerti mengapa Devika sepertinya selalu tahu tanpa kuberi tahu, apakah dia memiliki CCTV di tubuhku? Aneh sekali.

Assalamualaikum guyss, jangan lupa vote and comment yaa, thankss.

Love you all 😸

Another Side (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang