Sekarang aku sedang berada di campus. Sedang ada kelas dari Mr. Lexi. Masih ingatkan dengan Mr. Lexi? Si dosen blasteran yang gantengnya gak ketulungan. Ya, walau menurutku masih gantengan Davyn sih.
Kami sedang belajar tentang interview menggunakan bahasa Inggris dengan baik dan benar karena hal ini penting untuk kehidupan kami selanjutnya.
"Ok class, saya akan memberikan kalian tugas untuk menjawab pertanyaan dari HRD menggunakan bahasa Inggris, saya sudah memberikan poin-poin pentingnya dan selanjutnya kalian isi dengan baik, kalian bisa sekreatif mungkin untuk mengisinya, dan jawaban terbaik akan saya kasih nilai A."
"Yah Mr, masa nilai A doang sih, hadiahnya jadi istri Mr, boleh gak?" Lauren mulai bertingkah lagi.
"Jadi asisten rumah tangga saya mau?" ucap Mr. Lexi yang membuat kami tertawa.
"Gak papa, kan kita bisa ketemu tiap hari." Lauren tersipu malu.
"Iya, kamu beres-beres rumah dan saya pergi."
"Jangan gitu dong Mr, nanti kangen."
"Yaudah kamu serumah sama aku aja." Deon mulai berbicara.
Kalo mereka berdua sudah berbicara, saatnya tutup telinga karena akan banyak perdebatan yang membuat kepala pusing.
"Lo bisa diem gak! Gue lagi ngomong sama bebep," ucap Lauren kepada Deon.
"Dih ngaca! Orang Mr. Lexi udah punya tunangan," kesal Deon.
Aku dan teman-teman yang lain hanya menutup telinga sambil melihat adegan live hubungan Lauren dan Deon.
"Gak papa, ntar gue jadi istri kedua!" kesal Lauren.
"Cukup! Kalian berdua maju ke depan dan praktikkan interview yang sudah saya contohkan. Deon jadi HRD-nya dan Lauren jadi calon pekerja." Mr. Lexi menyuruh mereka untuk melakukan percakapan. Rasanya seru sekali.
"Dih saya gak mau, Mr," protes Lauren.
"Udah gak papa, yuk maju," ajak Deon.
"Gak mau ih!"
"Cepat atau kalian saya kasih pengurangan nilai!" ucap Mr. Lexi tegas.
Mereka pun terpaksa maju ke depan, lebih tepatnya Lauren yang terpaksa.
"Oh iya Mr, tau gak kalo di sini juga ada pasangan lain?" ucap Lauren jahil sambil menatapku.
"Mau apa dia," pikirku.
"Tuh Aquela sama Davyn juga ikutan ya Mr, mereka tuh saling mencintai, pasti chemistry-nya lebih uwuw." Lauren berkata dengan sok imut.
Tau darimana coba bahwa aku dan Davyn saling mencintai. Gawat kalau hal ini tersebar. Bisa gak akan masuk campus lagi karena kepalang malu.
"Saya kan nyuruhnya kamu, bukan mereka, cepat laksanakan!"
Hampir Mr. Lexi tidak menyuruhku. Kalau iya, bisa gawat. Namun tetap saja omongan Lauren membuat teman-teman sekelas menatapku. Ada tatapan menggoda ada juga yang sinis.
Huh meresahkan sekali.
Aku menatap ke arah Davyn, namun ia tidak merespon apa-apa. Mungkin ia tidak ingin memperpanjang masalah ini.
Kami semua langsung menatap percakapan antara Lauren dan Deon yang sudah berada di depan kelas. Percakapan mereka lama-lama ngawur kemana-mana.
Deon malah menanyakan kapan nikah lah, mau nikah sama siapa lah, bahkan Deon menjawab akan menerima Lauren menjadi istrinya bukan menjadi karyawan, seperti topik yang telah disusun oleh Mr. Lexi.
Kami semua hanya tertawa melihat chemistry mereka di depan kelas.
Aku yang sesekali melirik ke Davyn tidak mendapat respon apa pun. Sedari tadi, ia hanya diam saja, bahkan kejadian lucu di depan tidak membuat dirinya tersenyum. Aku tidak tahu apa masalah Davyn. Aku ingin tanya kepada Devika, namun ia masih fokus menatap ke depan.
"Vik," panggilku.
"Hm?"
"Gak jadi deh."
Aku jadi ragu untuk memberitahu kepada Devika. Biar aku sajalah yang mencari tahu.
Saat sudah pulang, aku melihat Davyn dengan seseorang. Mereka jalan berdua dan menaiki motor Davyn bersama. Aku tahu siapa perempuan itu, ia adalah sahabat Davyn. Orang yang sama saat Davyn mengobati lukanya.
Hatiku seketika remuk. Baru saja semalam Davyn soswit denganku, mengapa semuanya tiba-tiba hancur.
Aku berusaha untuk bersikap biasa saja. Berusaha untuk positif, namun ternyata tidak bisa. Otakku malah berfikir bahwa mereka sedang dekat.
Aku tahu sahabat Davyn yang bernama Jihan itu menyukai Davyn. Sangat jelas sekali dari tatapannya bahwa ia menyukai Davyn. Namun, aku tidak tahu bagaimana perasaan Davyn terhadap Jihan.
Huh, apalagi ini. Ada-ada saja. Kukira Davyn memang benar-benar menyukaiku, tapi ternyata ia malah menyakitiku dengan hal ini. Mengapa sih ia tidak jujur saja? Atau kemarin-kemarin Davyn hanya menjadikanku sebagai pelampiasan? Pertanyaan di otakku sangat banyak. Namun, belum ada yang terjawab.
Prasangka buruk mulai memenuhi kepalaku. Apa Davyn sedang jalan dengan Jihan? Apa Davyn sudah jadian dengan Jihan? Aduh, pusing sekali aku.
Aku berusaha untuk tidak memedulikan mereka dan menaiki motorku untuk pulang.Nging
Hampir saja aku keserempet motor gunung milik Kak Jaxon. Biasa sekali, menyusahkan saja.
"Jalan yang bener bisa gak!" Aku sudah tidak memiliki mood untuk meladeni siapa pun.
"Lo yang gak bener!"
Tuh kan, intinya adalah dia yang salah malah dia yang ngotot. Aku benci sekali dengan orang yang seperti itu.
Aku ingin menancap gas motorku lagi, tapi Kak Jaxon menghentikanku. Tidak boleh kemana-mana.
"Ck, apalagi sih!" ketusku.
"Lo ada masalah apalagi?" tanyanya.
"Doi gue sama cewe lain, puas!" Aku benar-benar muak berdebat dengannya. Rasanya ingin kulemparkan muka Kak Jaxon dengan helm yang kupakai sekarang.
Emosiku sedang meledak-ledak, jadi bisa gak, gak usah ganggu gue.
Ketika aku sedang dalam masalah, yang aku butuhkan hanyalah sendiri karena aku tahu jika ada manusia, emosiku menjadi tak terkontrol dan bisa saja membahayakan.
"Nih tenangin diri lo, minum dulu." Kak Jaxon memberikanku teh puc*k.
Udah kek iklan aja.
Aku hanya melihatnya saja. Malas untuk mengambilnya.
"Tinggal ambil doang ribet banget sih." Kak Jaxon langsung memberiku minuman tersebut secara paksa.
Huh, astagfirullah.
"Kalo lo bawa motor sambil marah-marah, lo bisa aja nyelakain orang lain bahkan diri lo sendiri," ucap Kak Jaxon.
Yang diucapkan Kak Jaxon memang benar. Aku harus bisa menahan emosiku agar semuanya tidak semakin buruk.
"Makasih."
"Minum dulu, gue tau lo kesel, tapi jangan sampe nyelakain diri lo sendiri," tulus Kak Jaxon.
Aku hanya mendengar ucapannya sembari meminum teh yang diberikan. Sekali teguk langsung habis. Memang benar ya, kalau emosi rasanya haus banget.
"Abis juga kan, makanya gak usah marah-marah mulu, cepet tua aja lo."
"Hmm." Aku hanya berdehem, malas meladeni Kak Jaxon.
"Jadi lo mau pulang apa gimana?" tanyanya.
"Iyalah, mau ke mana lagi."
"Gue tau rasanya ngeliat orang yang disayang sama orang lain, tapi lo jangan bodoh cuma gara-gara itu. Cinta memang menyenangkan, tapi lo juga harus inget, cinta bisa bikin hidup lo berantakan."
Setelah itu, Kak Jaxon pun pergi begitu saja, meninggalkanku yang masih termenung dengan ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Side (End)
RomantizmAir mataku satu per satu mulai menetes deras, aku berusaha untuk menghapusnya agar tidak jatuh terlalu banyak. "Gak usah salahin diri lo, lo gak salah, yang salah gue, gue yang salah mencintai seseorang." Aku pun langsung pergi menuju kamar mandi da...