23

0 0 0
                                    

Aku membelikan Davyn dan juga temannya nasi Padang. Kukira mereka lapar karena kerja terus. Aku juga lapar sih, jadi sekalian saja makan bareng.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam," jawab mereka serempak.

"Aduh doinya Davyn dateng nih," ucap teman Davyn yang bernama Tony.

"Apaan sih lo, udah sono," usir Davyn kepada Tony.

"Iya dah yang mau berduaan mah beda," ejek Tony dengan senyum jahilnya.

Aku tidak memedulikan ucapan Tony dan langsung memberi mereka makanan yang sudah kubeli.

"Gue ke sini pengen kasih makanan, kalian belum makan, kan?" tanyaku.

"Iya gue laper banget," ucap Tony frontal.

"Malu-maluin lo," kesal Davyn.

"Gak papa gue emang beliin buat Tony juga, nih dimakan, ya."

Davyn masih menatapku dengan tatapan khawatir. Mungkin ucapan orang tuaku terngiang-ngiang di telinganya.
Tony yang tau apa masalahnya pergi memakan nasi Padang di tempat lain.

"Vyn," ucapku.

"Kenapa repot-repot?" tanyanya khawatir.

"Mmm lo aja udah repot-repot kasih gue bubur tadi, gak usah khawatir sama gue," ucapku sendu.

"Aku gak mau kamu kenapa-napa, jangan pikirin masalah semalam, jangan nangis, kamu fokus sama hidup kamu aja," ucap Davyn tulus.

Semakin lama Davyn semakin perhatian. Jiwaku lama-lama meleleh ketika ia memanggilku dengan embel-embel aku dan kamu.

"Vyn, ngomongnya bisa lo-gue aja gak." Jujur kalau Davyn selembut itu aku jadi canggung.

"Kalo aku gak mau gimana?"

"Ih, yaudah nih makan."

"Makasih, Quel."

Kami akhirnya makan di depan toko Davyn yang terdapat kursi dan meja, sepertinya untuk pelanggan duduk. Sekarang yang duduk adalah aku dan Davyn.

"Vyn, gue minta maaf karena masalah it...," ucapku tertahan.

"Gak usah dipikirin, makan aja." Davyn membukakanku bungkus nasi Padang tersebut.

"Ih kenapa dibukain, kan gue bisa sendiri," ucapku kesal.

"Bentar, aku bikinin minumannya dulu ya, kamu mau apa?" tanyanya.

Hatiku makin dag dig dug tak terkontrol. Mengapa ia harus selembut ini sih?

"Apa aja."

Aku melihat Davyn yang sedang membuatkanku mango float. Ternyata Davyn jago membuat minuman.

"Nih diminum."

"Loh kok satu doang, punya lo mana?"

"Kamu aja."

Gak kuatttt pemirsa. Pipiku sepertinya mulai memerah menahan keuwuwan ini.

"Vyn, makasih."

"Aku yang harusnya terima kasih, kamu pulang kuliah repot-repot bawain aku makanan gini."

"Ih kan udah dibilang gue yang harusnya makasih, lo udah perhatian tadi."

Aku tidak bisa selembut Davyn. Jika diingat-ingat saat aku di campus Davyn sangat perhatian, memberikanku bubur dan minumannya. Aku jadi teringat dengan Devika yang kusembur. Lucu sekali.

"Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Davyn yang menyadarkan lamunanku.

"Eh nggak, siapa coba yang senyum-senyum," ucapku mengelak.

Another Side (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang