15

0 0 0
                                    

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa," teriakku tidak jelas di rooftoop.

Entah mengapa, sedari tadi aku hanya ingin berteriak saja. Rasanya bebanku hilang sementara. Paling tinggal menyisakan serak di tenggorokanku.

"Heh kamu ngapain," ucap Pak Rehan dari bawah.

Aku langsung merasa malu seketika dan menutup mataku reflek.

"Jangan bunuh diri kamu!" teriak Pak Rehan.

"Kagaaa Pak, saya cuma gabut aja hehe," ucapku malu.

"Awas kalo kamu bunuh diri, Bapak gak mau jadi saksi."

"Dih gabakal Pak, tuh liat banyak orang," ucapku santai.

"Yeee cepat turun, jangan aneh-aneh kamu," tegas Pak Rehan.

Aku pun hanya tersenyum dan menuruti perintah Pak Rehan.

Aku juga yang salah, ngapain coba teriak di atas rooftoop, udah tau ini campus bukan gunung.

"Gara-gara cinta bisa gila gue," ucapku sambil menuruni satu persatu anak tangga.

Saat turun, aku berpapasan dengan Davyn. Nah loh panik gak, panik gak.

Aku berusaha untuk bermuka sedatar mungkin dan berusaha untuk mengabaikan Davyn. Malu sekali  rasanya.

"Quel," panggil Davyn.

"Kenapa harus dipanggil sih, gue kan bingung mau ngomong apa," pikirku.

"Gue udah baca surat lo," ucap Davyn santai.

Davyn yang santai aku yang marathon. Kata apalagi yang diucapkan Davyn setelah ini? Aku benar-benar takut.
Sedari tadi pun, aku hanya menunduk saja. Tidak berani menatap wajah Davyn.

"Makasih karena lo udah jujur," ucap Davyn tulus.

Aku hanya tersenyum sambil menunduk.

"Huh, untuk masalah Devika kayaknya gue juga harus move on," ucap Davyn lagi, "Dia juga gak suka sama gue."

Aku tidak mengerti kemana arah pembicaraan Davyn sekarang.

"Kalo gue boleh jujur, gue pernah nyatain perasaan ke Devika, tapi ditolak mentah-mentah."

Ternyata Devika lumayan sadis juga.

Aku tidak tahu harus menjawab apa sekarang. Otakku seketika tidak bekerja.

"Yaudah gue ke atas dulu, ya," ucap Davyn lembut.

Jujur, aku takut kalau Davyn membahas surat itu terlalu dalam. Aku berharap semuanya berjalan seperti biasa saja, dan aku juga lebih takut jika kami tidak seakrab sebelumnya.

Setelah itu, Davyn langsung ke atas rooftoop dan aku pun turun ke bawah.

"Huh, jantung gue," ucapku sembari memegang jantung yang serasa mau copot.

Jujur, aku masih belum paham dengan ucapan Davyn. Apakah Davyn hanya ingin curhat saja atau bagaimana?

Sebenarnya, aku sih tidak berharap banyak dan tidak peduli jika perasanku terbalas atau tidak, tapi yang jelas aku bingung sekarang.

( ╹▽╹ )

"Tadi lo ngapain di atas Rooftoop," ucap Devika.

"Suka-suka gue lah, mau ngapain kek," ketusku.

"Yee songong amat lo jadi orang!"

"Lagian lo ngeselin, eh Vik emang Davyn pernah nyatain perasaan ke lo?" tanyaku penasaran.

Another Side (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang