CHAPTER 12

30 17 62
                                    

Senyum tipis Arya terpancar kala tangan kanannya menyapa derasnya hujan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Senyum tipis Arya terpancar kala tangan kanannya menyapa derasnya hujan. Netranya menjelajah sekitar. Suasana tidak seramai sebelumnya karena banyak insan tidak sabar menunggu sehingga memutuskan untuk menerobos hujan yang semakin deras alih-alih mereda.

Sebenarnya, Arya membawa payung, tetapi dia memutuskan untuk menetap sejenak sambil menikmati hujan yang sekian lama tidak singgah di kotanya. Memandangi hujan lama-lama membuatnya teringat akan istilah hujan identik dengan kenangan.

Jika berbicara tentang kenangan kala hujan, dia jadi teringat akan masa kecilnya. Berlari menerobos dinginnya hujan bersama teman-teman, tetapi pulangnya malah dijewer Emak alih-alih disuruh membersihkan diri agar tidak jatuh sakit.

Ah, kenangan yang indah.

Rasanya, baru kemarin dia mengalami situasi tersebut, tetapi kini dia dihadapi oleh kenyataan bahwa usia untuk menetap di dunia sudah menipis. Tidak. Arya tidak membahas bahwa menipisnya usia untuk hidup di dunia karena penyakit yang dideritanya. Dia sedang membahas bahwa manusia hidup di antara azan dan salat, lahir diazanin, mati disalatin.

Ya, begitulah hidup. Singkat.

Meskipun begitu, masih banyak manusia yang sibuk memikirkan dunia dan melupakan bekal di akhirat. Berlari ke sana kemari mencari cinta dunia, tanpa memikirkan apakah napasnya masih berembus atau tidak esok hari.

Semasa hidupnya, Arya tidak kepikiran untuk mencari cinta atau bercinta dengan siapapun. Dia telanjur ditampar kenyataan bahwa jodoh itu misteri, dan kematian itu pasti. Namun, dia bukan lelaki munafik yang menghindari istilah jatuh cinta. Hanya saja, ketika dia memutuskan untuk menyukai seseorang, Arya kembali ditampar dengan pertanyaan; Apakah dia siap menyakiti orang yang dia cintai?

Kalaupun Arya terjebak belenggu cinta, dia harus siap melakban mulut dengan maksud agar tidak mengutarakan rasa suka terhadap orang yang dicintainya. Tepatnya, Arya hanya ingin menyimpan perasaannya dalam hati.

“Ini hujan dari tadi kok nggak reda-reda, sih! Mana gue nggak bawa payung lagi.”

Spontan, Arya menoleh ke kiri saat mendengar suara khas insan berjenis kelamin perempuan mengeluh karena hujan tidak kunjung reda. Insan itu—tepatnya seorang gadis berponi yang menatap lurus ke depan.

Arya menatapnya dari atas sampai ujung kaki. Menyadari bahwa dia mengenalinya. Meskipun gadis itu tidak menatapnya balik, tetapi lekuk tubuhnya persis seperti sosok yang membuat Arya menarik napas panjang ketika mereka bertemu. Lantas, Arya cepat-cepat membuang kontak mata dengan harapan semoga gadis itu tidak mengenalinya.

“Kak Arya? Ngapain di sini?”

Terlambat, Kristina sudah melihat Arya duluan sehingga tubuh Arya seketika membeku. Netra si gadis menjelajah sekeliling. “Kak Arya lagi nungguin siapa? Jangan-jangan, Kak Arya nungguin aku, ya!”

Nyesel gue nggak langsung pulang. Arya merutuki diri. Ketemu cewek ini lagi, kan, jadinya. Huh! Males banget gue.

“Kak Arya... Kak! Halo... hai...!” Kristina melambaikan telapak tangan.  Wajahnya sedikit miring, berusaha menyadarkan Arya yang membeku.
P
Dengkusan mengentara dikeluarkan sebagai kode bahwa dia tidak suka akan eksistensi Kristina, tetapi yang diberi kode justru membulatkan mata dan menatap Arya dari jarak dekat alih-alih peka. Teknisnya, tatapan itu membuat Arya seperti maneken hidup.

KRISTINA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang