CHAPTER 26

35 9 9
                                    

Kristina melihat pantulan dirinya di cermin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kristina melihat pantulan dirinya di cermin. Gadis itu selalu tersenyum karena ingat akan janjinya pada Ical, tetapi sekarang dia mengingkari janji itu. Sejak divonis lumpuh, Kristina sering menangis, melamun, dan tidak seceria dahulu. Terlebih, semenjak menjadi korban buli di sekolah ... Kristina seakan kehilangan semangat hidup.

Pepatah mengatakan, ada masa di mana manusia berada dalam titik terendah. Masa di mana manusia ingin mengakhiri hidup tanpa mengingat seberapa besar dosa yang diterima nantinya. Dan Kristina sedang berada di masa itu sekarang.

Kristina menarik napas panjang ketika Sumiati mendorong kursi rodanya menuju taman belakang, tempat di mana dokter terapi Kristina menunggu. Sebenarnya, dia malas menjalankan rutinitas terapi yang tidak memberi efek apa pun pada dirinya. Namun, Akbar sudah pasti sedih jika dia melewati masa terapinya, dan Kristina tidak ingin itu terjadi.

“Ya udah, kalau gitu... Bibi pamit ke dalam dulu, ya, Non. Kalau Non Tina butuh apa-apa panggil Bibi,” pamit Sumiati, lantas menatap Rumi. “Mari, Bu Dokter.”

Rumi tersenyum, sedangkan Kristina berkata, “Iya, Bi. Makasih.”

Sumiati membalas anggukkan, lantas meninggalkan lokasi tersebut.

“Hai Tina.” Rumi menyapa disertai kaki melangkah menghampiri Kristina. “Gimana kabar kamu? Baik?” tanyanya.

Alhamdulillah baik, Dok.”

Rumi tersenyum. “Alhamdulillah kalau gitu, saya ikut senang dengernya,” balasnya. “Eumm... sebelumnya, Tina udah pernah nyoba jalan?”

Kristina menggeleng.

“Belum pernah, ya. Oke. Kalau buat berdiri masih kerasa sakit nggak kakinya?” tanya Rumi.

“Sedikit, Dok.”

Dokter itu tersenyum. “Nggak apa-apa. Lama-lama, pasti sakitnya juga ilang kok. Ya udah, sekarang... Tina coba berdiri dulu, ya. Ayo, saya bantu.” Tangan Rumi diulurkan ke depan, menyambut tangan Kristina. “Pelan-pelan, Sayang.”

Kristina menunduk ketika gadis itu sudah berdiri dengan bantuan Rumi, netranya manatap kaki berbalut perban yang terasa nyeri sedikit. Meskipun nyeri di kakinya terasa, gadis itu tetap mengikuti arahan Rumi. Kesannya, Kristina seperti bayi yang baru diajari caranya berjalan.

“Ayo... jalan terus. Nggak apa-apa, saya pegangain, kok,” kata Rumi. “Kaki Tina harus sering-sering digerakin, biar nggak kaku. Kalau papa Tina lagi cuti, Tina juga boleh belajar jalan sama Papa. Intinya, Tina harus yakin kalau Tina bisa jalan lagi. Pokoknya, nggak boleh pesimis. Oke?”

KRISTINA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang