CHAPTER 29

20 5 2
                                    

Mata Kristina membulat kala mendapati boneka beruang pink diulurkan oleh tangan seseorang yang berdiri di belakangnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mata Kristina membulat kala mendapati boneka beruang pink diulurkan oleh tangan seseorang yang berdiri di belakangnya. Dia tersenyum samar-samar menatap boneka tersebut, tetapi senyumnya memudar ketika menoleh dan mendapati sosok dia.

“Hai!”

Kristina mengabaikan penyodor boneka yang menyapa dan langsung membuang muka, pertanda enggan menatap lama-lama.

“Ngapain lo ke sini?” ketusnya. “Aku, kan, udah bilang kalau gue nggak mau ngelihat muka lo lagi.”

Ah, sial!

Dalam hati Kristina mengumpati diri. Dalam situasi seperti ini bisa-bisanya mulutnya enggan berkompromi dan mengucap kalimat campur aduk seperti ini. Sungguh memalukan.

“Buat lo.” Arya menyodorkan boneka yang dibawa kepada Kristina, tetapi diabaikan begitu saja. “Oke. Gue taruh di sini, ya,” lanjutnya seraya meletakkan boneka di atas kursi kayu.

“Pergi. Aku nggak mau ketemu sama lo.” Lagi. Kristina mengumpat ketika aksi marah-marahnya gagal karena penggunaan aksen lo-gue campur aduk tidak keruan. “Jadi, pergi. Gue bilang pergi!”

Arya menarik napas pasrah akan keadaan bahwa Kristina enggan menerima eksistensinya lagi. “Gue ke sini mau minta maaf sekalian bilang makasih karena lo udah—”

Kata-kata Arya membuat Kristina tersenyum miris.

“—gu-gue beneran nggak nyangka kalau kejadiannya bakalan kayak gini.”

Kristina terkekeh. “Minta maaf?” tanyanya. “Udah basi. Emang lo pikir setelah lo minta maaf, semua bisa kembali normal? Aku bisa jalan lagi?” Kristina menggeleng. “Enggak, Kak. Enggak!”

“Kalaupun Kakak mau minta maaf dan bilang makasih, kenapa baru sekarang? Kenapa nggak dari kemarin-kemarin? Ke mana aja lo, Kak?” Kristina mencibir, berhasil membekukan Arya yang hendak buka suara. “Nggak ada tuh lo nemuin dan mastiin keadaan gue.”

“Itu karena gue—” Mendadak, mulut Arya tidak bisa dibuka sehingga pemuda itu terpaksa menelan kalimatnya kembali.

“Karena apa?” tanya Kristina, netranya menatap Arya sejenak lalu berpaling.

Karena gue emang nggak bisa nemuin lo. Gue pengin nemuin lo, tapi gue nggak bisa, Na. Arya menjerit dalam hati dan terus menyalahkan takdir mengapa skenarionya diatur demikian.

“Ck. Nggak usah dijawab gue juga udah tahu kok kalau lo emang nggak peduli sama gue. Iya, kan?” Kristina kembali berkata. “Dari awal emang aku yang salah. Iya. Aku salah karena udah jatuh cinta sama orang nggak punya hati kayak Kak Arya.”

“Awalnya, aku pikir semua batu yang terus-menerus ditetesi air bisa terkikis.” Kristina tersenyum. “Ternyata, gue salah. Aku baru sadar kalau nggak semua batu bisa terkikis.”

Lagi. Kristina mengumpat karena aksi marah-marahnya terkesan gagal karena penggunaan aksen lo-gue terdengar aneh.

Arya terdiam lama.

It's okay, gue tahu gue salah. Dan gue sadar kalau gue nggak layak dapat maaf dari lo, tapi—“ Suara Arya terputus, dia kemudian mengusap wajah frustrasinya. “Oke. Lo bener. Kata maaf emang nggak bisa balikin semuanya, tapi seenggaknya—kasih gue kesempatan buat nebus semuanya. Satu aja.”

“Pergi,” usir Kristina. “Gue nggak mau ngelihat muka lo lagi.”

Akan tetapi, Arya justru maju selangkah hendak menghampiri.

“Gue bilang pergi.”

“Na, please, kasih gue kesempatan buat—”

“Pergi! Pergi!” Kristina berteriak, dia juga melempar gawainya ke arah Arya yang untungnya tidak mengenai pemuda itu. “PERGI!”

***

Waktu telah menunjukkan pukul setengah sembilan malam, tetapi Arya masih belum beranjak dari kediaman Kristina. Entah apa yang ada dipikirannya, tetapi yang jelas Arya seperti disihir agar menetap di rumah gadis itu. Setidaknya, sampai Kristina menerima maafnya.

Berulang kali Arya menguap ketika iblis kantuk bergelantungan di kelopak mata. Pemuda itu kemudian menyamankan posisi dengan bersandar pada dinding kursi kayu di teras rumah Kristina. Tangannya memijat pelipis yang sedikit berdenyut, disusul mata yang perlahan menutup lantaran tak kuasa menahan kantuk.

Dua menit kemudian, matanya kembali terbuka. Panggilan masuk menghiasi gawai membuatnya mendepak jidat berkali-kali. Arya benar-benar lupa kalau dia belum mengabari orang tuanya. Bisa ditebak bahwa orang rumah mengkhawatirkan dirinya.

Abang di mana? Kok belum balik. Katanya cuma pergi sebentar.” Suara itu seketika membuat Arya menarik napas seraya menjauhkan gawai dari telinga. “Halo? Bang Arya! ABANG DI MANA? MAMA SAMA PAPA KHAWATIR BANGET SAMA ABANG! GUE JUGA KHAWATIR!

Udah malem gini nggak pulang-pulang. Abang di mana, sih?

“Masih di rumah temen,” balas Arya, memotong pekikan di seberang sana. “Sori, lupa ngabarin.”

Ck. Temen yang mana? Ya kali main sampai lupa rumah. Siapa, sih, temennya? Kak Amara?

“Bukan.”

Terus?

Arya tampak berpikir. “Ada, deh... eng—temen gue. Bilangin ke mama, Abang nggak kenapa-napa. Abang baik-baik aja, kok. Ini udah malam kenapa lo belum tidur, Lin?”

Abang di rumah temen siapa? Mama dari tadi nanyain tuh,” sewot Linda, tidak mengindahkan pertanyaan kakaknya. “Halo! Bang Arya! Nggak ada suaranya? Ah, masa pulsa gue abis, perasaan baru semalem gue isi. Bang!

“Hemm. Udah dulu, ya, Lin. Ini Abang masih ada urusan. Udah malem. Tidur sana. Jangan pacaran mulu.”

Bang—eh.

Arya memutus telepon sepihak.

BERSAMBUNG

KRISTINA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang