CHAPTER 32

12 3 3
                                    

Tak lagi sama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak lagi sama. Semua telah berubah. Jika dahulu Kristina bisa mendongak tinggi-tinggi menyusuri koridor sekolah, kini Kristina hanya bisa menunduk serendah-rendahnya. Bahkan Kristina bisa saja memenggal kepala sendiri agar tiada orang yang melihat wajahnya jika manusia tanpa kepala tidak terlihat seram.

Sebenarnya Kristina masih belum berani menampakkan diri di sekolah, tetapi Arya terus memaksa dan mengancam 'Arya tidak mau masuk sekolah jika tidak ada Kristina di sana'. Entah kesambet apa tetapi yang jelas Arya tak lagi sama semakin ke sini.

Bukan hanya Arya saja yang kesambet, tetapi nyaris semua murid di SMA Singgasana pun demikian. Tiada lagi bisik-bisik yang menjadikan Kristina sebagai topiknya. Tiada lagi tatapan jijik yang dilontarkan seperti beberapa minggu lalu.

Jantung Kristina berdegup kencang begitu berhadapan dengan Natasya dan Bianca. Meskipun dia yakin bahwa semua akan baik-baik saja, tetapi ketakutan tetaplah ada. Untuk menghilangkan pikiran negatif di otaknya Kristina mengatur napasnya seraya menatap manik mata dua gadis di hadapannya secara bergantian.

“Ha-hai, Na,” sapa Natasya, canggung, lalu dibalas senyum oleh Kristina. “Lo apa kabar?”

Alhamdulillah udah lebih baik.”

Bianca menatap Natasya. Keduanya lantas saling melontarkan senyum canggung.

Alhamdulillah kalau gitu. Gue sama Natasya ikut seneng dengernya,” tutur Bianca.

***

“Lo seriusan nemuin Natasya dan Bianca, Na?” tanya Yunita di sela-sela makannya, sedangkan Kristina mengangguk sebagai respons. “Mereka ngomong apa aja?”

“Nggak banyak, sih. Cuma ngobrol biasa.” Kristina menelan makanannya, kemudian meneguk air mineral di tangannya. “Nanya kabar, minta maaf, terus kita temenan, deh. Udah.”

“Terus lo mau maafin gitu aja?”

“Kenapa enggak?” Kristina menaikkan sebelah alisnya. “Gue yakin mereka udah berubah. Mereka udah dapat konsekuensi dari apa yang mereka perbuat, dan gue rasa itu udah cukup. Konon katanya, orang baru bisa berubah menjadi lebih baik setelah dapat musibah.”

Yunita syok, segera dia menempelkan punggung tangannya di dahi Kristina. “Na, kepala lo nggak kebentur aspal, kan? Sumpah, Na, lo beda banget dari Kristina yang gue kenal,” imbuhnya, masih tidak menyangka.

“Kristina yang gue kenal itu cerewet, ngeselin, nyebelin, nggak bisa diem, nggak mau kalah, dan yang terakhir—” Yunita menggantung kalimatnya, “—pemikirannya nggak dewasa kayak gini.”

“Kesannya kayak gue minus banget, ya.”

Yes.”

Seiring berjalannya waktu pola pikir manusia pasti berubah. Yang awalnya kekanakan-kanakan menjadi lebih dewasa, yang awalnya merasa paling pintar menjadi sadar bahwa dia masih tidak ada apa-apanya, dan yang awalnya merasa paling sempurna menjadi tahu bahwa sejatinya di dunia tiada manusia yang sempurna.

Bisa dibilang Kristina berada di fase tersebut. Dia mendapat banyak teguran dan memutuskan untuk bermetamorfosis menjadi manusia yang lebih baik lagi.

“Hubungan lo sama Kak Arya gimana?” tanya Yunita tiba-tiba. “Kalian udah baikan?”

Kristina mengangguk. “Kita temenan sekarang. Maksud gue, bener-bener temenan. Gue udah nggak mau maksa Kak Arya buat suka sama gue.”

“Udah ada yang lain lagi, Na?” Yunita mengira jika Kristina memiliki gebetan baru. “Secepet itu?”

No,” balasnya. “Cinta nggak bisa dipaksain, Yun. Selama ini gue terlalu memaksa Kak Arya buat suka sama gue. Lagi pula, Kak Arya udah suka sama seseorang yang jauh lebih baik daripada gue, dan gue rasa... mereka saling suka.”

“Kak Amara?” tebak Yunita.

Maybe.”

***

KRISTINA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang