CHAPTER 17

22 14 15
                                    

Bagi semua siswi di SMA Singgasana, dijejali mata pelajaran olahraga di jam kedua—berlangsung dari pukul delapan hingga pukul sembilan adalah bencana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagi semua siswi di SMA Singgasana, dijejali mata pelajaran olahraga di jam kedua—berlangsung dari pukul delapan hingga pukul sembilan adalah bencana. Berkebalikan dengan siswa yang tampak senang kala mendapat mata pelajaran olahraga di jam kedua.

Alasan simpelnya, setelah olahraga mereka bisa langsung ke kantin tanpa harus dijejali materi lain seperti kelas yang kebagian jam pertama. Fakta mengatakan bahwa di antara semua mata pelajaran, yang menjadi pelajaran favorit cowok adalah olahraga. Toh, cowok lebih tertarik dijejali praktik ketimbang teori.

Itulah alasan mengapa cowok kerap dijuluki lemah di materi tetapi jenius dalam praktik. Pernyataan itu berbanding terbalik dengan cewek yang tidak suka pelajaran olahraga dengan embel-embel; panas, takut kulit hitam, atau semua hal yang bisa dijadikan keluhan.

Toh, cewek memang seribet itu.

Hal itu bisa dilihat dari cara siswa-siswi kelas XII Bahasa 2 melakukan pemanasan. Bahkan, Budi—selaku guru olahraga harus ekstra sabar kala menghadapi tingkah polah anak didiknya.

Begini contohnya.

“Satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan. Puter kiri. Satu dua tiga—”

“Nggak ada tempat yang lebih adem apa, Pak?” Stela mengeluh seraya menggunakan kedua tangan sebagai kipas. “Panas, nih, Pak. Kulit saya bisa hitam nanti.”

“Iya, nih. Mana panas banget.” Zera yang berbaris di samping Stela ikut mengeluh, lalu mengarahkan atensi ke Stela. “Stel, ini olahraganya masih lama?”

“Kalian ini ngeluh aja dari tadi!” tegur Budi.

“Olahraga itu penting. Udah. Jangan ngeluh terus!” Budi melangkah kian kemari, matanya meneliti gerak-gerik anak didiknya. “Ayo, atas—satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan. Sekarang, bawah—satu dua tiga—”

“Pak, panas!” Stela kembali mengeluh.

Rai pas-pasan wae kakehan gaya. Lo lihat tuh, Amara...” Kevin menjeda sejenak, menatap Amara yang fokus melakukan pemanasan. “... dia artis, tapi ora kakehan sambat koyok awakmu.

“Apaan, sih, lo?” Zera membalas cibiran Kevin. Perhatiannya mengarah pada pemuda yang duduk di bangku pinggir lapangan. “Enak banget, tuh, Arya, nggak pernah ikut olahraga. Ih, gue juga mau jadi murid yang dispesialin kayak Arya,” gumamnya kemudian.

Merasa terpanggil, atensi Arya yang awalnya terarah pada buku bacaan pun beralih ke lapangan. Kupingnya tidak sengaja menangkap bahwa dia dijadikan bahan obrolan. Kefokusannya pada buku teralihkan, dia memperhatikan dan mendengarkan obrolan itu.

Kiara menoleh ke belakang dan bertanya pada Amara. “Eh, lo tahu nggak kenapa Arya dispesialin sama Pak Budi?” Amara hanya menggeleng. “Masa lo nggak tahu sih, Mar? Kan lo sahabatnya Arya.”

“Gue nggak tahu,” balas Amara, kembali fokus melakukan pemanasan. “Lagian, kalian kenapa, sih, pengin kayak Arya? Arya aja pengin kayak kita.”

“Emangnya siapa, sih, yang nggak kepengin dispesialin kayak Arya? Cuma mempelajari materi doang, nggak ikut praktik, nggak panas-panasan kayak gini, tapi nilai nggak jauh beda sama kita yang ikut materi and praktik.”

KRISTINA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang