CHAPTER 30

22 4 10
                                    

Malam semakin larut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam semakin larut. Kristina yang masih belum terlelap mengarahkan atensi ke teras rumah. Dia mengintip seseorang dari balik jendela kamar yang teknisnya bisa melihat teras rumah dengan jelas.

Seseorang itu adalah Arya, pemuda yang Kristina cintai sekaligus pemuda yang telah menghancurkannya. Sumpah demi apa pun, tidak pernah terlintas di benak Kristina bahwa Arya benar-benar tidak pulang sebelum mendapat maafnya.

Sebenarnya, apa yang pemuda itu pikirkan? Apakah dia tidak membayangkan bagaimana cemasnya Marsya melihat anaknya tidak pulang-pulang? Apakah pikirannya sudah buntu?

Dasar egois!

“Ih, ngapain juga gue mikirin dia. Bodoamat mau pulang atau enggak juga gue nggak peduli,” gumam Kristina, berusaha menepis hal yang berkelana di otaknya. “Please, Na, please, lo harus move on. Lupain Kak Arya.”

Gadis itu kemudian memutar kursi roda sehingga tubuhnya membelakangi jendela. Matanya membulat ketika mendapati Akbar berdiri di tengah-tengah pintu kamar yang terbuka, seolah memberi instruksi bahwa dia ingin berbicara serius dengan putrinya.

“Papa boleh masuk?” tanya Akbar, dibalas anggukan oleh Kristina.

Akbar lantas menghampiri Kristina yang terdiam, dihelanya napas panjang sebagai ancang-ancang untuk bicara.

“Kenapa, Pa?” tanya Kristina.

“Itu—temen kamu belum pulang,” kata Akbar basa-basi, tetapi tidak dipedulikan oleh Kristina. “Dari tadi Papa udah nyuruh dia pulang, tapi dia tetap nggak mau. Hemm... katanya, sih, dia nggak mau pulang sebelum—”

Saat itu juga, kalimat Akbar terhenti karena ekspresi Kristina tampak tidak bersahabat. “Please, Pa, aku lagi nggak pengin ngomongin siapa-siapa. Aku ngantuk,” katanya, berlagak seolah tidak kuasa menahan kantuk.

“Papa tahu kenapa kamu bersikap kayak gitu sama Arya!”

Kristina berhenti memutar roda kursi rodanya mendengar ucapan Akbar. Suasana seketika menghening. Keduanya bergelut dengan pikiran masing-masing.

“Arya udah ceritain semua kejadian itu sama Papa,” ujar Akbar sembari mengelus puncak kepala Kristina, seolah paham akan apa yang Kristina pikirkan. “Sayang, semua yang terjadi sama kamu itu musibah. Papa yakin, Arya—”

Kristina melirik papanya tajam. “Papa seneng kalau Tina lumpuh?”

No. Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?”

“Hmm... kalau Papa nggak seneng, kenapa Papa masih baik-baikin Kak Arya?” tanya Kristina. “Padahal, Papa udah tahu kalau yang buat Tina kayak gini itu Kak Arya. Seharusnya—”

“Nggak ada orang tua yang senang melihat anaknya menderita. Bahkan, kalau Tuhan mengizinkan Papa bertukar posisi sama kamu... Papa rela.” Akbar tersenyum penuh arti. “Sayang, apa yang menimpa kamu itu musibah. Kecelakaan itu terjadi karena kamu berusaha nyelamatin nyawa Arya. Iya, kan?”

Kristina terdiam. Sepertinya, pikirannya sudah terbuka sedikit.

“Papa tahu, kamu marah sama Arya bukan karena masalah kecelakaan.” Akbar berujar yakin.

Untuk kesekian kalinya Kristina terdiam. Ya, Akbar benar. Hal yang membuat gadis itu merajuk pada Arya bukan hanya perihal kecelakaan yang telah melumpuhkan kedua kakinya. Lagi pula, Arya juga tidak pernah meminta untuk diselamatkan, jadi Kristina cukup sadar kalau musibah yang menimpanya bukan salah Arya.

“Niat kamu buat nolongin Arya itu udah baik. Jadi, jangan kotorin niat baik itu dengan hal yang kurang baik, seperti kamu marah sama Arya contohnya.”

Kristina terdiam.

“Dalam sebuah hubungan tidak ada yang berjalan mulus. Entah hubungan suami-istri, asmara, bahkan pertemanan sekalipun... mesti ada yang namanya pertengkaran atau perselisihan. Marah itu manusiawi. Semua orang berhak marah. Papa pun dulu pernah marah sama Mama.” Akbar mencoba memberi sedikit pencerahan. “Tapi, Islam mengajarkan kita untuk tidak mendiamkan sesama lebih dari tiga hari.”

Kalimat terakhir Akbar berhasil membuat Kristina lama terdiam karena teringat kejadian yang membawanya kembali mengingat dialog-dialog kala bersama Arya.

Kak Arya dari tadi mah diem aja. Ih, Kak Arya ngomong dongggg! Aku, kan, udah minta maaf. Kak Arya nggak mau maafin aku, ya?” kata Kristina. “Kak Arya! Kata papa aku, nggak baik loh marahan lama-lama, apalagi sampai lebih dari tiga hari. Terus, papa aku juga pernah bilang kalau sesama manusia itu harus saling memaafkan. Allah aja Maha Pengampun, masa Kak Arya yang jadi ciptaan-Nya enggak?”

Selagi otaknya kembali ke momen itu, Kristina menoleh ke samping kanan untuk mendengarkan pendapat malaikat bersayap putih di pundak kanannya sekaligus jalan apa yang harus dia lakukan selanjutnya.

Bener tuh kata papa kamu. Nggak baik marahan lebih dari tiga hari. Lagi pula, kamu udah pernah bilang gitu ke Arya. Kalau aku jadi kamu, udah pasti aku malu sama diri aku sendiri. Ngasih nasihat ke orang lain, tapi nggak dipraktikin ke diri sendiri.

Hati Kristina mengangguk, sepemikiran dengan malaikat tersebut. Namun, iblis bertanduk merah yang berada di pundak kirinya membuatnya terdiam.

Jangan dengerin dia, Na! Inget, Arya itu udah nyakitin lo. Lo lupa kalau Arya juga udah ngatain lo sebagai cewek murahan. Jadi, saran gue... mending lo nggak usah berhubungan lagi, deh, sama yang namanya Arya. Itupun kalau lo emang beneran bukan cewek murahan.”

Malaikat putih di pundak kanan Kristina tidak terima dan kembali mengeluarkan pendapatnya, “Ini nggak lagi bahas cewek murahan atau bukan, ya.

Husss... diem lo!”

Lo yang diem!”

Lo!

Lo!

Kristina menatap frustrasi khayalan dirinya yang tengah bertengkar. Saking frustrasinya, gadis itu sampai memegang kepala dengan kedua tangannya. Bahkan, gadis itu juga refleks berteriak dan membuat Akbar terkejut.

“KALIAN BERDUA DIEM!”

“Na?” panggil Akbar.

Kristina menatap sang papa.

“Kamu kenapa? Are you okay?”

Menggaruk bagian belakang kepala yang tidak gatal. “Hah? Ah, iya, I'm okay,” balasnya, lantas diangguki oleh sang papa. “Ke-kenapa, Pa?”

Akbar bergeming, lelaki itu sepertinya hendak mengucapkan sesuatu. “Sekarang, semuanya tergantung kamu. Kamu mau marah sama Arya atau enggak itu hak kamu,” ujarnya.

“....”

“Dendam itu tidak bisa mengembalikan apa pun, begitu juga dengan memaafkan—” Jeda. Lelaki itu menarik napas panjang. “Tapi, dengan memaafkan... hati kita bisa menjadi lebih tenang. Dan Papa yakin kalau rintangan bisa dilewati dengan hati yang tenang. Kamu ngerti, kan, maksud Papa gimana?”

Pandangan Kristina yang semula menatap lurus ke depan kini beralih ke papanya. “Iya, Pa, Tina ngerti.”

“Okey.” Akbar mengangguk-angguk. “Kamu sudah dewasa, dan semua keputusan ada di kamu. Intinya, Papa cuma mau pesen kalau dendam itu cuma bikin hati nggak tenang.”

BERSAMBUNG

KRISTINA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang