CHAPTER 39

14 2 3
                                    

“Aku pulang dulu, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Aku pulang dulu, ya. Besok aku ke sini lagi.”
Kristina meninggalkan ruang rawat Arya setelah berpamitan pada Arya dan keluarganya. Menyusuri lorong rumah sakit yang ramai. Banyak orang berlalu lalang dengan berbagai gerak-gerik yang mudah sekali dibaca oleh orang lain.

Langkahnya terhenti begitu merasakan sakit di bagian kepala. Satu bulan terakhir ini Kristina memang kerap kali merasakan sakit di kepala, tetapi kali ini rasanya jauh lebih sakit dari biasanya. Dia meringis sembari memegangi kepala dengan kedua tangan.

Kristina bersandar pada dinding begitu pandangannya memburam. Sementara itu, Amara yang kebetulan melewati lorong itu dengan sigap memegangi dan menuntun Kristina untuk duduk di kursi.

“Na, lo kenapa?” tanya Amara, cemas ketika melihat wajah Kristina memucat. “Lo sakit?”

“Kepala gue pusing banget, Kak.”

“Gue panggilin suster, ya,” tawar Amara.

“Nggak usah, Kak. Nggak usah. Ini paling cuma sakit kepala biasa. Udah biasa gini kok.” Kristina menolak. “Kak, gue boleh minta tolong?”

“Apa?”

“Anterin gue ke depan.”

“Lo mau balik sama siapa? Perlu gue anterin?”

“Nggak udah, Kak. Gue udah pesen taksi kok.”

“Ini serius lo nggak mau periksa dulu, Na?”

Kristina menggeleng. Mau tidak mau Amara menurut dan menuntun gadis itu untuk keluar dari rumah sakit. Amara berniat menemani Kristina sampai taksi yang dipesan datang, tetapi ditolak.

Lima menit setelah kepergian Amara, Kristina kembali memegangi kepalanya. Rasa sakitnya jauh lebih dahsyat kali ini. Kristina bersandar pada tiang sembari menguatkan diri sendiri. Namun, pada akhirnya penglihatannya gelap, tubuhnya yang semakin lemah tiba-tiba mendarat di lantai.

Kristina tidak sadarkan diri.

***

Kristina memilih taman sekolah sebagai tempat yang pas untuk menghabiskan jam istirahat pertamanya. Entah kenapa hari ini Kristina merasa tidak bersemangat. Bahkan ketika Yunita mengajak ke kantin dan akan mentraktirnya, Kristina dengan tegas menolak.

Kristina memejamkan mata sejenak sembari menyadarkan kepala pada sandaran kursi yang diduduki. Kristina pikir akhir-akhir ini kepalanya hanya pusing biasa yang setelah minum obat bisa hilang. Ternyata, ada tumor ganas yang bersarang di otaknya entah sejak kapan.

Kristina harus segera mengambil tindakan operasi pengangkatan tumor, jika tidak nyawa Kristina bisa terancam.”

Kristina yang baru saja siuman seketika terkejut mendengar obrolan Akbar dan dokter yang memeriksanya. “Operasi pengangkatan tumor?” tanya Kristina untuk memastikan.

Akbar menghampiri, lalu mengelus kepala Kristina. “Papa yakin kamu kuat. Kamu pasti bisa sembuh. Papa akan mengusahakan pengobatan dan operasi terbaik buat kamu, Nak. Papa janji, Papa akan usahakan itu.”

“Enggak, Pa,” tolak Kristina. “Tina nggak mau dioperasi sebelum Kak Arya dapat donor hati.”

“Operasinya harus dilakukan secepatnya, kalau enggak—”

“Kalau enggak apa, Pa? Nyawa Tina bisa terancam? Iya, Pa, Tina tahu, tapi Tina nggak mau.” Kristina masih teguh pada pendiriannya, entah apa yang dia pikirkan saat itu. “Papa, please, jangan paksa Tina. Tina yakin kalau Kak Arya nggak ngerasain sakit lagi, Tina juga nggak bakal ngerasain sakit.”

Sekilas obrolan bersama Akbar muncul. Semua orang pasti akan menganggap Kristina gadis bodoh karena berani membahayakan nyawa sendiri, tetapi yang jelas Kristina sama sekali tidak pernah menyesali keputusannya.

Keputusan dioperasi begitu Arya mendapatkan donor hari benar-benar sudah dipikirkan. Bukan karena saking cintanya Kristina kepada Arya, tetapi karena Arya sudah membuat Kristina bangkit hingga berada di tahap ini.

Berawal dari Arya kecil muncul di hidup Kristina kecil. Arya kecil membuat Kristina kecil berani. Arya kecil membuat Kristina kecil ceria. Dan Arya kecil juga membuat Kristina kecil bahagia.

Sampai pada akhirnya keduanya bertemu setelah sekian lama berpisah. Meskipun Arya sempat menyakitinya, membuatnya terjun ke jurang, membuatnya depresi, tetapi Arya juga yang mengulurkan tangan dan membuatnya kembali bangkit.

“Na, maafin aku. Gara-gara aku kamu jadi kayak gini. Tapi yang jelas aku nggak bakalan ninggalin kamu. Aku yang udah buat penyakit itu muncul, dan aku juga harus bisa jadi obatnya,” kata Arya ketika Kristina baru saja menyelesaikan terapinya.

Arya bersedia menjadi obat bagi Kristina ketika Kristina lumpuh, meskipun sekadar memberi motivasi dan menemaninya terapi. Kristina belum bisa menjadi obat bagi penyakit Arya, makanya dia ingin melangkah beriringan mencari obat bagi penyakitnya bersama Arya.

Kristina membuka mata begitu telinganya mendengar langkah seseorang mendekat. Gadis menoleh, Linda berdiri sembari tersenyum lalu meminta izin untuk duduk di sebelah Kristina melalui isyarat mata.

“Tegang amat muka lo, Na,” ujar Linda. “Tenang, gue nggak bakal ngomong kayak kemarin kok. Gue ke sini mau—” Linda menggantung ucapannya.

“Mau apa?”

“Gue ke sini mau minta maaf.”

“Soal kemarin? Nggak apa-apa. Gue ngerti kok.”

“Bukan.” Jawaban Linda membuat kening Kristina mengeryit. “I-iya gue minta maaf soal kemaren, lebih tepatnya gue minta maaf soal semuanya. Kesalahan yang pernah gue lakuin ke lo, terutama soal Reksa. Gue—”

Linda tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena Kristina memeluknya tiba-tiba. “Gue udah lupain semuanya. Harusnya gue yang minta maaf, gue yang udah egois, gue yang nggak pernah mau dengerin cerita lo. Sorry, Lin. Gue belum bisa jadi sahabat yang baik buat lo.”

“Na, jujur gue kangen banget temenan sama lo sama Yunita.” Linda berujar setelah keduanya saling melepas pelukan. “Kita bisa, kan, temenan kayak dulu lagi?”

“Bisa banget. Gue juga udah kangen banget makan seblak bertiga kayak dulu.”

“Bisa tiba-tiba kepikiran makan seblak bertiga, ya, lo.” Linda tertawa. “Tapi gue juga kangen, sih. Gimana kalau kita makan seblak sekarang. Gue traktir.”

“Awalnya gue males banget ke kantin. Traktiran Yunita bahkan gue tolak. Tapi kayaknya tawaran yang ini nggak bakal nolak, sih.”

“Yunita traktiran? Tumben amat itu anak.”

“Pajak karena udah balikan sama Reygan.”

“Kayaknya gue beruntung deh baikan sama lo hari ini. Sekalian minta pajak ke Yunita. Yuk!” ajak Linda.

Kristina hanya mengangguki ajakan Linda, dia tampak bahagia. Setidaknya, satu per satu orang terdekatnya sudah kembali.

BERSAMBUNG

KRISTINA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang