CHAPTER 13

26 17 48
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tiga puluh menit sudah Kristina menanti hujan reda seorang diri, tetapi masih belum ada tanda bahwa hujan akan berhenti. Rasanya, dia tidak sanggup menanti lagi karena jika ditilik dari posisi berjongkok sembari memeluk lutut—gadis itu telah diselimuti kedinginan dan kejenuhan.

“Aaaaahhh! Ini hujannya kapan, sih, berhentinya?” keluhnya. “Udah gue nggak bawa payung, jas hujan di jok motor, terus ditinggalin sama Kak Arya. Ah, lengkap sudah penderitaan hamba-Mu ini Tuhan!”

Angin sepoi-sepoi yang datang tidak diundang membuat kedua tangannya mendekap tubuh sendiri secara refleks. Dia memutar kepala, meneliti area sekolah dari ujung sana sampai sini, berharap ada insan satu nasib dengannya. Sepertinya, tidak ada. Dia sendirian di sini.

“Gue telepon Papa aja kali, ya?” gumamnya pelan. “Eh, enggak-enggak.”

Kepalanya menggeleng sebagai pertanda tidak ingin menghubungi Akbar karena alasan tertentu. Alasan pertama, dia tidak mau merepotkan Akbar. Alasan kedua, dia tidak ingin mendengar omelan Akbar.

“Apa... gue nerobos hujan aja kali, ya.” Gadis itu mengarahkan atensi ke depan, menatap hujan. “Tapi, kan, ini hujannya deres banget. Kalau gue demam gimana? Pasti gue nggak bisa masuk sekolah besok. Kalau gue nggak sekolah, gue nggak bisa ketemu dan ngelihat Kak Arya, dong.”

Kristina telah membuat keputusan bahwa dia tidak akan ke mana-mana, dia akan menanti hujan reda sambil melamun. Gadis itu menopangkan dagu pada lutut, netranya mengarah ke tanah, dan hatinya terpaku pada pemuda yang dia temui sebelumnya.

Satu menit, dua menit, tiga menit, Kristina masih melamun. Namun, pada menit kelima lamunannya buyar karena netranya mendapati seseorang bersepatu hitam dipandu dengan warna putih pada sol sepatutnya berdiri di hadapannya. Gadis itu membeku.

Kristina menelan salivanya dengan susah payah. Jika ditilik dari raut serta gerak-geriknya, dia ketakutan. “Tuan Hantu, please, jangan gangguin aku! Aku cuma numpang bentaran doang kok di sini. Jangan gangguin aku, ya, please....”

Yang dikira hantu menggelang beberapa saat sambil memperhatikan gadis di hadapannya. Ternyata, pikiran Kristina memang secetek itu. “Lo pulangnya dijemput atau gimana?”

Kalimat yang dilontarkan membekukan Kristina. “Kok, suara Tuan Hantu-nya sama persis kayak Kak Arya. Jangan-jangan, Kak Arya udah dimakan sama—ah!” Gadis itu menggeleng refleks.

“Gue Arya, bukan hantu.”

Kristina mendongak. Bangkit dari jongkoknya karena sosok itu benar-benar Arya, bukan hantu yang mengusik pikirannya barusan.

KRISTINA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang