Ungkapan

247 32 50
                                    

Entah apa yang ada di pikiran Rey sekarang, pikirannya berkelana kemana-mana.

Rey, pria itu sedang duduk manis di ruang tunggu rumah sakit, ia mengantarkan Jennie untuk mengobati luka wanita itu yang ia sebabkan.

Sejak tadi ia hanya diam, lidahnya kelu, rasa bencinya hilang secara tiba-tiba ketika melihat wajah manis Jennie. Tidak. Rey sudah tidak menyukai wanita itu, tapi kenapa rasanya seperti ini?

Dulu ia rasanya ingin marah, ngamuk, dan sebagainya kepada wanita itu. Rasa kecewanya begitu dalam, tapi ketika kini bertemu kenapa ia tak bisa marah? Dimana rasa bencinya itu?

Tapi jangan berfikir aneh, Rey hanya mencoba bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Ia tak ingin di cap yang buruk.

Wajahnya datar, sedatar tembok. Tatapannya dingin menatap pintu, bahkan jika ada orang di sekitarnya pasti mereka juga ikut merasakan bahwa aura di sekitar pria itu sangat dingin.

Dokter keluar, di sambut Rey yang berdiri. "Pasien hanya terluka, lukanya juga tidak serius hanya mengeluarkan sedikit banyak darah. Namun, sudah tidak apa-apa pak."

Rey yang hanya menatap datar pun mengangguk pelan. "Kalau begitu saya permisi." lanjut dokter itu.

Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir pria itu, ia hanya diam.

Rey menatap pintu itu kembali, rahangnya mengeras. Ingin masuk tapi ia ragu, emosinya juga tak stabil.

Rey menarik nafasnya dalam, lalu menghembuskan perlahan. Ia membuka pintu itu lalu berjalan kedalam.

Disana, Jennie Calista–– mantannya, sedang duduk di pinggir brankar, wanita itu masih sibuk melihat lukanya tanpa sadar ada Rey di hadapannya.

"Ekhem!" daheman Rey mengagetkan Jennie, wanita itu mendongak menatap Rey yang tak mau menatapnya.

Jennie tersenyum manis. "Terimakasih."

Tapi Rey tak menjawab, ia hanya diam dengan aura yang dingin.

"Aku sudah menghubungi Mike, dia sebentar lagi akan sampai. Kamu boleh pergi dan untuk administrasi biar Mike saja yang membayar. Sekali lagi terimakasih sudah mengantarkan ku, dan maaf aku tadi sedikit lalai dalam menyebrang." katanya lembut.

Rey menghembuskan nafas kesal, ia tadi ingin marah tapi kenapa ini dia hanya diam. Ia ingin marah, ingin mengatakan yang menyakitkan tapi kenapa ini dia hanya diam tidak berbicara?

Melihat Rey yang masih diam berdiri dan menatap arah lain, Jennie tersenyum maklum. Kesalahannya memang tak bisa di maafkan.

"Saya pergi." kata itu akhirnya keluar dari mulut Rey. Ia berbalik dan berjalan menuju pintu tanpa menunggu balasan dari mantannya itu.






"Rey tunggu," panggilan itu membuat Rey berhenti tepat di depan pintu keluar, tapi ia tak membalikan badannya. "Maaf..." ujarnya menunduk.

Rey diam, tapi ia mendengar. Jennie yang merasa di abaikan mendongak, menatap Rey yang masih berdiri di tempat.

"Maaf untuk segala kesalahanku, Rey." katanya lagi. Ia yakin Rey tetap menyimak walaupun tak menatap dirinya. "Kesalahan itu memang gak bisa di maklumi, gak bisa untuk di maafkan. Tapi setidaknya aku sudah mencoba meminta maaf pada mu."

"Maaf..." lirihnya menunduk.

***

Rey bodoh.

Dua kata itu yang ada di otak Rey saat ini, ia mencaci dirinya sendiri. Kenapa ia memiliki pikiran yang bodoh seperti tadi?

ReyMara || Kita Beda✓ [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang