"Terkadang kita tidak bisa menyadari se dalam apa hati ini tersakiti. Kita juga tidak mengerti persoalan macam apa yang seharusnya kita coba selesaikan. Kita hanya ingin berlari, berharap bisa menghindar, tapi nyatanya tidak berbuah apa-apa. Bukankah itu terlihat bodoh?
Kau tidak bisa menghindar karna masalahnya ada padamu. Ya, kau lah sumber dari masalah yang kau hadapi saat ini, jadi tidak perlu berlari untuk menghindar. Kau hanya perlu waktu untuk dirimu dan semuanya itu akan terselesaikan."
Happy reading sayanggg 😚
Jangan lupa tap bintang dulu yuk!
Tandai kalo ada typo atau kejanggalan ya...Sama seperti hari-hari biasanya, Vita hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar. Berkutat dengan berbagai soal dengan sebuah laptop di hadapannya, lengkap dengan kacamata yang bertengger di atas hidungnya. Sepertinya hal itu memang sudah menjadi rutinitas bagi gadis itu.
Terhitung sudah 2 jam lamanya Vita berkutat dengan soalnya. Vita memutuskan untuk berhenti sejenak untuk minum.
Sebentar lagi, pasti neneknya akan memanggil namanya untuk segera turun dan makan siang bersama. Oleh sebab itu, Vita memutuskan untuk turun sebelum dipanggil. Kasihan sang nenek yang harus menaiki tangga hanya untuk memanggil dirinya hanya untuk makan.
Semenjak acara menangisi foto Alvin kemarin, Vita benar-benar memutuskan untuk berhenti mencoba menghubungi lelaki itu. Rasanya percuma, pasalnya Vita merasa bahwa Alvin memang sengaja menjauh darinya, terbukti dengan laki-laki itu telah menonaktifkan segala media sosial agar mereka tidak bisa berkomunikasi lagi. Vita saja yang terlalu bodoh selama ini karna tidak memikirkan hal itu. Rasa cintanya pada Alvin membuat ia merasa bahwa Alvin tidak mungkin melakukan hal itu.
"Kamu udah turun sayang? Baru aja mau nenek panggilin." ucap sang nenek mengulas senyum tipis.
Seperti dugaan Vita.
"Iya, Nek. Vita tahu nenek bakal manggil Vita ke atas, makannya Vita langsung turun."
"Yaudah sekarang kita makan, yuk! Mama kamu lagi ke luar sebentar." ujar sang nenek yang dibalas anggukan kepala oleh Vita.
"Sini dulu sayang. Nenek ikatin rambut kamu." Vita yang mendengar penuturan sang nenek barusan, buru-buru melihat rambutnya dan benar saja.
"Nggak usah, Nek. Biar Vita sendiri aja." ucap Vita menolak halus.
"Nggak papa sayang, sini!" ucap sang nenek yang entah sejak kapan sudah melilitkan sebuah ikat rambut berwarna hitam di jari-jari tangannya yang sudah keriput.
Vita yang tidak punya alasan untuk mengelak lagi, mulai melangkah mendekati sang nenek yang kembali duduk di sofa.
"Ini leher kamu kenapa merah-merah gini?" tanya sang nenek yang sudah menyatukan rambut Vita menyerupai ekor kuda.
"Kayaknya dicium nek."
"Hah? Dicium siapa? Cuma kita yang ada di rumah ini. Apa ada orang yang nyusup ke kamar kamu?" panik sang nenek menatap Vita dengan mata yang terbelalak.
"Ada nek. Bawa rombongannya juga," ucap Vita menunjukkan wajah sedihnya.
"Rombongan gimana? Apa kita lapor ke polisi aja? Ini nggak boleh dibiarin. Ini namanya pelecehan seksual. Apalagi mereka udah ngekuin hal nggak tidak-tidak ke kamu."
"Nggak usah, Nek. Nanti Vita bunuh mereka."
"Gimana mau bunuh kalo mereka serombongan?"
"Gampang kok, Nek. Vita bisa hadapin mereka semua. Vita kan cucu nenek?"
"Pokoknya nenek nggak mau tahu! Nenek harus telpon polisi sekarang juga." ucap nenek mutlak lalu mengambil telepon seluler miliknya.
Vita yang melihat aksi neneknya barusan, langsung saja merebut ponsel sang nenek. "Nggak perlu telpon polisi, Nek. Tinggal bawa baygon aja ke kamar Vita." tukas Vita membuat sang nenek menatapnya bingung.