Tanda merah yang terpampang di layar ponselnya tadi membuat Aresha merasa sangat kecewa. Rasanya seakan jatuh ke dasar jurang dan sulit untuk kembali bangkit. Tangisannya juga pecah karena mengingat kedua orang tua yang menaruh harapan besar kepadanya. Ia hanya ingin sendirian sekarang, menjauh dari orang-orang yang kemungkinan besar akan membahas mengenai hasil pengumuman itu kepadanya.
Namun ketika Aresha memilih untuk menyendiri, Jeno malah menemaninya tanpa ia duga. Lelaki itu juga mengulurkan tangannya dan mengajak Aresha ke suatu tempat agar kesedihannya ini bisa terhapus. Gadis mungil itu masih tidak tahu lelaki yang ada di depannya ini akan membawanya pergi ke mana. Yang dia yakin, saat ini mereka berjalan menyusuri pesisir pantai yang menjadi tempat bermain mereka kemarin.
Aresha mengikuti langkah kaki Jeno dari belakang, sambil menatap tangan kanannya yang sedang digenggam erat oleh lelaki itu. Sejak Aresha menerima uluran tangan Jeno, lelaki itu langsung menggenggam tangan mungil milik Aresha dan belum melepasnya hingga sekarang. Jujur saja, Aresha agak terkejut ketika Jeno melakukan hal itu. Rasanya bukan seperti Jeno yang biasanya kaku dan dingin. Kali ini, genggaman tangan dari lelaki itu terasa sangat hangat.
Bukan hanya menyusuri pesisir pantai, tetapi mereka juga menaiki satu demi satu anak tangga yang ada di bagian ujung pesisir. Tangga tersebut menuntun mereka ke tebing pantai. Aresha benar-benar tidak mengerti mengapa Jeno mengajaknya ke sana.
Sesampainya di atas tebing, Jeno menunjuk suatu tempat dan berkata, "Ayo, kita ke sana."
Aresha menoleh ke arah yang ditunjuk Jeno, kemudian merasa khawatir karena yang ditunjuk oleh lelaki itu adalah ujung tebing yang langsung menghadap ke air laut. Tunggu dulu, lelaki itu membawanya ke ujung tebing disaat ia sedang sedih? Ini bukan berarti Jeno menyuruhnya untuk terjun bebas dari ujung tebing ini, kan?
"Jen, gue gak mau ke sana," tolak Aresha sambil menggelengkan kepala. Walau dia tahu ada beberapa wisatawan yang melompat ke air laut dari tebing ini, tetap saja baginya ini terlalu ekstrim. Sesedih apapun perasaannya sekarang, Aresha tetap sayang dengan nyawanya.
"Loh? Kenapa? Perasaan lo nggak takut ketinggian," tanya Jeno terheran.
Aresha memang tidak takut ketinggian, tetapi ini bukan cara yang tepat untuk menghapus kesedihan. "Gue masih mau hidup!" jawab gadis mungil itu sambil menaikkan nada bicaranya.
Bukannya menjawab perkataan dari Aresha, lelaki yang ada di hadapannya itu malah semakin kebingungan sambil mengernyitkan dahinya.
"Jen, plis gue ga mau mati muda, gue ngga sedepresi itu ya," ucap Aresha memohon untuk tidak dibawa pergi ke ujung tebing.
Karena semakin tidak mengerti dengan apa yang Aresha bicarakan, akhirnya Jeno menatap ke arah gadis mungil yang ada di hadapannya lamat-lamat. "Sa, menurut lo kenapa gue bawa lo ke atas sini?" tanya Jeno dengan heran.
"Ngajak gue lompat dari tebing?" jawab Aresha polos.
Jeno spontan menepuk jidatnya ketika mendengar jawaban dari Aresha. Pantas saja gadis mungil yang ada di hadapannya ini tidak mau dibawa ke ujung tebing. Padahal, apa yang ada di pikirannya itu tidaklah benar. Lelaki itu tidak akan menyuruh Aresha melakukan hal seperti apa yang gadis mungil itu pikirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Classmate [Jeno] ✓
Fiksi Penggemar[COMPLETED] Ada banyak hal yang tidak Sasa (Aresha Lynelle) ketahui tentang teman sekelasnya, Arkana Jeno. Entah mengapa lelaki yang memiliki tahi lalat di dekat mata kanannya itu memikat perhatian Sasa. Bukan karena wajahnya yang rupawan ataupun k...