Bab 9

14.9K 2K 60
                                    

Yudistira membenci reaksi tubuhnya saat mendengar pengumuman Kinan yang akan berkencan dengan Albion. Badannya berubah kaku, gerakannya mengatur setting running watch terhenti sekian detik sebelum ia kembali bisa menguasai diri.

Berbagai pikiran buruk melintas di benaknya. Apa Albi termasuk pacar yang sopan? Yang tahu batasan? Bagaimana jika Kinan yang mudah lupa diri? Gadis itu pernah nekat menciumnya saat kelas 8 SMP, siapa yang bisa menjamin Kinan tidak melakukan lebih dari sekedar berciuman di usianya sekarang? Dengan Albion?

Dan bodohnya lagi, Yudis membiarkan Kinan pergi sebelum ia sempat memberi briefing singkat tentang bagaimana berpacaran yang sehat, mewanti-wanti seperti yang seharusnya dilakukan kakak laki-laki pada adik perempuannya.

What the hell!

Rahayu kemudian muncul untuk mengajak Nola mandi dan mengingatkan Yudis untuk ziarah ke makam almarhum ayahnya.

"Iya, aku ingat, Bu. Nanti aku ke makam sama Nola, sekalian ... habis itu dia mau lihat kebun pisang."

"Nola belum pernah lihat kebun pisang Eyang ya? Gara-gara papamu sok sibuk jadi nggak pernah ke sini."

Nola terkikik tertahan mendengar ejekan neneknya untuk sang ayah.

"Bu... " tegur Yudis sopan, dan dibalas dengan bibir mencebik oleh Rahayu.

Pukul sembilan, sebelum matahari bersinar terlalu terik, Yudis dan Nola sudah berada di kompleks pemakaman desa. Yudis berjongkok di depan sebuah nisan batu, sedangkan Nola berdiri di sampingnya. 

"Ini kuburan Eyang Kakung, Pa?" tanya putri kecilnya.

"Iya, ayo Kakak berdoa untuk Eyang."

"Doa apa?"

"Baca Al Fatihah juga nggak apa-apa. Sudah Papa ajarin, kan?"

Yudis membimbing Nola membaca surah Al Fatihah lalu dilanjutkan doa ziarah kubur yang Yudis ingat. "Ya Allah, berilah ampunan dan rahmat kepadanya. Berikanlah keselamatan dan berikanlah maaf kepadanya. Berikanlah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya. Mandikanlah dia dengan air, es, dan embun. Bersihkanlah dia dari kesalahan sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari kotoran."

Selesai berziarah, Yudis mengajak Nola ke kebun pisang peninggalan ayahnya. Jaraknya cukup dekat dengan rumah. Mata gadis kecilnya itu berbinar gembira melihat jejeran pohon pisang. Selama ini, Rahayu membayar orang untuk mengurus kebun kecil ini. Karena luasnya pun tidak seberapa, penghasilan dari kebun juga tidak besar. Namun setidaknya cukup untuk membayar jasa pengurus kebun.

"Hwoooaaa... pohon pisangnya banyak banget, Pa!" seru Nola takjub.

"Namanya saja kebun pisang. Masa iya pohon pisangnya cuma satu?"

"Ada yang berbuah, Pa. Buah pisangnya gede-gede dan banyak. Ayo, diambil, Pa." Nola semakin kagum kala memandang satu pohon pisang agung dengan setandan buah yang menjuntai. Pisang ini adalah pisang ikonik dari Kabupaten Lumajang. Ukuran pisang agung bisa mencapai 2-3 kali lebih besar daripada pisang biasa.

Yudis ikut mengamati pohon yang ditunjuk Nola. Buah-buah pisang sudah terlihat gemuk tetapi warnanya masih hijau. "Itu belum matang, Kak. Belum bisa dimakan."

"Nanti gimana caranya tau buah pisang udah mateng atau belum?" tanya Nola ingin tahu.

"Kalau sudah ada yang berwarna kuning, berarti udah mateng. Atau daun-daun pisangnya jadi kering."

Nola ber-oh panjang, tanda ia memahami penjelasan ayahnya. Anak itu lalu setengah berlari ke sisi lain kebun. Saking bersemangatnya ia tidak melihat sebuah tunas pisang yang mencuat dari tanah lalu tersandung.

Cinta Tak TergantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang