Kinan sudah hampir terlelap saat mendadak teringat ia belum memberitahu Yudis tentang pesan Bu Ifah. Nola sudah tidur pulas di sampingnya. Tak ingin membangunkan anak itu, Kinan bangkit perlahan dan meraih tongkatnya.
Belum pukul sepuluh. Yudis pasti belum tidur. Pria itu biasa masuk kamar selepas pukul 10.30.
Kinan membuka pintu kamar dengan perlahan. Ia lalu menuju ruang tamu. Langkah Kinan terhenti di sebelah rak partisi.
Di depan televisi Yudis sedang melakukan push up dengan bertelanjang dada. Mata Kinan menelusuri punggung Yudis yang kokoh dan berotot, lalu bergeser pada sepasang lengan yang kekar. Saat Yudis bangkit karena menyadari kehadirannya, kedua netra Kinan pun dimanjakan oleh tampilan perut sixpact ayah satu anak itu.
Kinan menelan ludah. Ia tahu dirinya pernah merasa jatuh cinta pada Yudis di awal masa remajanya. Namun, dulu hanya ada rasa berbunga-bunga di dada yang muncul tiap kali Yudis tersenyum padanya, atau mengusap puncak kepalanya.
Sekarang sensasi yang timbul, berbeda. Seumur hidup baru kali ini Kinan merasa panas dingin karena melihat tubuh pria dewasa. Gelenyar hangat menari di perutnya lalu turun, menggelitik area kewanitaan. Sumpah demi apa pun, Yudis benar-benar seksi saat bertelanjang dada seperti itu.
"Ada apa, Kin? Aku kira kamu sudah tidur."
Kinan menelan ludah. Ia hendak memalingkan wajah, tetapi urung. Jika ia melakukannya, jelas ketahuan bahwa ia tengah terpesona pada fisik Yudistira. Maka, Kinan terus menatap ke depan, berusaha tampak biasa saja sambil memperhatikan Yudis mengenakan kembali kausnya.
"Aku mau bicara sebentar, Mas."
"Tentang apa?" Yudis menyugar rambut ikalnya yang sedikit basah karena keringat. Ia terbiasa olah raga sebentar sebelum tidur. Jika hari libur, barulah ia pergi ke gym atau jogging.
Kinan maju, setelah mencapai sofa, ia pun menyandarkan tongkat ke tembok lalu duduk. Yudis ikut duduk sembari meneguk air putih. Kinan beringsut ke pinggir sofa, memberi jarak yang cukup lebar antara tubuhnya dan Yudistira.
"Tadi aku ketemu guru calistungnya Nola. Bu Ifah bilang, menurut dia, Nola membutuhkan kacamata."
Yudis mengernyit sambil tetap meneguk air. Setelah air di gelasnya tandas, ia mengusap sudut mulut yang sedikit basah. "Aneh sekali. Mata Nola baik-baik saja, kenapa butuh kacamata?" ujarnya seraya meletakkan gelas.
"Bu Ifah bilang begitu bukan tanpa alasan kan, Mas. Nola itu setiap kali membaca tulisan harus deket banget jaraknya, Mas."
"Ya wajarlah. Semua anak kecil begitu," bantah Yudis. "Mana ada yang langsung bisa sikap membaca yang baik, Kin. Apalagi Nola juga baru belajar membaca."
Benar juga. Kinan menggaruk kepala. Bodohnya, Kinan tidak memastikan lebih dulu tentang gejala Nola sebelum melapor pada Yudis. "Tapi kata Bu Ifah, Nola nggak bisa lihat tulisan yang jauh."
"Itu bukan nggak kelihatan, Kin. Tapi karena Nola masih mengingat-ingat ini huruf apa, makanya nggak langsung jawab."
"Masa Mas Yudis nggak merasa aneh sih? Nola itu kalau lihat wajah orang aja harus sampai memincingkan mata. Kayak orang rabun."
Yudis masih menolak percaya.
"Ada baiknya Nola diajak periksa mata, Mas." usul Kinan. "Kalau hasilnya baik dan normal, berarti memang Bu Ifah yang salah, terlalu berpraduga. Tapi kalau ternyata Nola memang butuh kacamata, setidaknya minusnya masih sedikit. Kan kasihan Mas, kalau Nola nanti harus pakai kacamata lensa tebal karena baru ketahuan setelah minusnya banyak."
Mau tak mau, Yudis membenarkan opini Kinan. Anak teman kerjanya di bank ada yang matanya minus delapan, padahal anak itu baru duduk di kelas 3 SD. Penyebabnya karena terlambat dideteksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tak Terganti
RomanceDemi mewujudkan impiannya menjadi chef, Kinanti pergi ke Jakarta dan tinggal bersama tetangga sebelah rumah yang ia cintai sejak remaja, Yudistira. Saat Kinan pikir ia tinggal selangkah lagi dari impiannya, ternyata semuanya perlahan-lahan runtuh d...