Bab 41

12.5K 2.1K 134
                                    

Kondisi Nola dinyatakan stabil. Anak itu sudah dipindahkan ke kamar rawat inap dan juga sudah menjalani tindakan rontgen. Bahunya yang retak kemudian dibebat dan tangannya diberi arm sling. Entah karena dongeng karangan Kinan atau karena faktor lain, Nola sama sekali tidak menangis lagi, meskipun terkadang anak itu masih mengeluhkan kepala yang sakit jika berubah posisi. Namun, karena tidak ada gejala perburukan seperti muntah atau kejang, kemungkinan besar besok Nola sudah diperbolehkan pulang.

Kinan diminta Yudis untuk pulang dengan taksi dan mengambil pakaian Nola, juga membeli makan malam. Yudis menyerahkan beberapa anak kunci yang dijadikan satu dengan sebuah gantungan kunci. Kunci pagar besi, kunci pintu depan, kunci kamar.

Begitu tiba di rumah Yudis, Kinan langsung memesan makanan via GoFood lalu bergegas mandi dan berganti pakaian bersih. Untunglah ia masih punya sisa pakaian bersih dalam tas yang dibawa sebagai persiapan menginap kemarin malam. Selesai mandi, Kinan lalu mengambil koper yang disimpan di atas lemari. Ia memilih beberapa pakaian, lalu melipatnya dengan rapi dan menyimpannya ke dalam koper. Saat Kinan hendak menutup koper, ponselnya berdering dan menampilkan nama Yudistira.

"Halo, Mas?" ucap Kinan menjawab panggilan.

"Kamu masih di rumah, Kin?"

"Iya, Mas. Gimana?"

"Bisa kamu bawakan keperluanku juga?"

"Bisa, Mas. Apa saja yang perlu dibawa?"

"Bawakan aku pakaian ganti. Kausku kena darahnya Nola. Masuk saja ke kamarku. Lemariku nggak dikunci. Bawakan peralatan mandi dan handuk bersih juga."

"Oke, Mas. Ada lagi?"

"Bawakan juga ...," Yudis berhenti sejenak kemudian berdeham, "... pakaian dalam bersih."

Blush!

Pipi Kinan seketika memanas. Bisa-bisanya ia merona mendengar permintaan tolong Yudistira. Padahal itu adalah permintaan yang wajar. Tentu saja Yudis harus berganti pakaian dalam. Siapa yang betah berlama-lama memakai pakaian dalam kotor?

Namun, pakaian dalam adalah area pribadi dan, demi Tuhan, ini adalah pakaian dalam Yudistira. Lelaki yang pernah membuat Kinan mengkhayalkan pernikahan di usia yang sangat belia.

"Sudah itu saja, Kin."

Kalimat terakhir Yudis seakan menyadarkan Kinan dari pikirannya yang melantur. "Y-ya, Mas. Nanti Kinan bawakan."

Kinan mengembuskan napas lega saat Yudis menutup telepon. Gadis itu beranjak dari kamar Nola ke kamar Yudis. Satu-satunya ruangan di rumah ini yang belum pernah Kinan masuki. Jantungnya berdetak lebih kencang tanpa alasan yang jelas, seolah ia akan menemukan sebuah rahasia tersembunyi di dalam ruangan itu. Seperti yang selalu terjadi dalam cerita novel.

Pintu kamar terbuka, ruangan yang gelap menyambutnya. Tangan Kinan menekan sakelar dan seketika ruangan itu terang benderang.

Berbeda dengan kamar Nola dan ruangan lain di rumah ini yang didominasi warna hijau, kamar Yudis bernuansa biru-kelabu. Dinding di belakang ranjang berwarna biru tua, seperti seragam anak SMP, senada dengan bed cover yang menutupi kasur. Sementara dinding lain dicat warna kelabu, sama seperti warna pintu lemari tanam di tembok. Kamar ini menegaskan kesan maskulin yang nyaman. Macho sekaligus teduh.

Awalnya Kinan mengira, ia akan disambut oleh foto mesra Yudis dan mendiang Syifa yang terpajang di dinding. Namun, dugaannya salah. Kamar ini bersih dari segala pernak-pernik yang mengarah pada jejak almarhumah ibu Nola. Hanya ada tiga buah foto Yudis bersama Nola yang dipasang di dinding.

Kinan tidak mau berlama-lama di kamar itu. Rasanya seolah ia sedang menginvasi daerah pribadi Yudistira. Ia membuka lemari, mengambil kaus atasan yang nyaman untuk tidur serta satu polo shirt untuk besok pagi, sebuah celana panjang non-jeans, juga dua potong celana dalam. Pipi Kinan memanas saat menyentuh benda itu, tetapi ia memasukkan sugesti untuk menganggap pakaian dalam Yudis sama seperti pakaian dalam Wisnu yang sering ia cucikan di rumah.

Cinta Tak TergantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang