Nola tidak kehilangan kesadaran, mungkin itu satu-satunya pertanda baik yang membuat hati Yudis sedikit tenang. Anak itu terus menangis dan merintih dalam perjalanan menuju rumah sakit. Sungguh, selama enam tahun menjadi ayah tunggal, Yudis belum pernah merasa sekalut ini.
"Sakit, Tante," isak Nola. Anak itu berbaring di jok belakang dengan kepala berada di pangkuan Kinan.
"Tenang ya, Sayang. Papa sedang bawa Nola ke rumah sakit. Nanti ada dokter yang akan nolongin Nola." Kinan tidak berhasil menjaga nada suara tetap tenang. Isak tertahan yang menyumbat tenggorokan membuat suaranya serak dan bergetar. Sedari tadi Kinan tak henti memanjatkan doa semoga Nola tidak mengalami cedera parah, meskipun ia merinding melihat kening anak itu yang berdarah cukup banyak.
Yudis menekan klakson kuat-kuat hingga suaranya memekakkan telinga saat ada mobil yang menghalangi jalan masuk ke Instalasi Gawat Darurat. Ketika mobilnya berhasil masuk area drop in, Yudis segera turun dan memanggil perawat. Kinan melihat dari dalam mobil selagi dua orang perawat laki-laki datang bersama Yudistira dengan mendorong brankar.
Pintu di sebelah Kinan dibuka. "Mbak turun dulu ya," perintah salah satu perawat. Kinan patuh.
Nola masih menangis. "Tenang, Dek. Kepalanya jangan digerak-gerakin," perintah salah satu perawat sambil menahan kepala Nola agar tidak menoleh ke kanan dan kiri.
Kedua nakes itu dengan cekatan dan hati-hati memindahkan Nola ke atas brankar yang segera didorong masuk ke dalam IGD.
"Kin, kamu masuk dulu. Aku parkir mobil," titah Yudis.
"Ya, Mas." Kinan berlari kecil mengikuti brankar Nola. Ia merasakan ponsel di saku celana bergetar. Kinan mengambil gawai itu, mengira Yudis yang menelepon, tetapi saat mendapati nama Albi yang tertera sebagai penelepon, Kinan dengan cepat menekan tombol reject. Apa pun urusan Albi hingga meneleponnya, hal itu bisa menunggu.
Brankar Nola berhenti didorong. Seorang dokter wanita berhijab menghampiri anak itu. "Kenapa ini?" tanyanya.
"Jatuh di taman bermain, Dok. Di Walkot Farm. Jatuh dari rumah pohon," jawab Kinan.
Tiga perawat lain datang. Dokter menunduk di dekat kepala Nola selagi seorang perawat memasang cervical collar di leher Nola. Dagu Nola diangkat dan dipegangi oleh salah satu perawat.
"Adek namanya siapa?" tanya sang dokter.
"Nola," rintih anak itu, lalu menangis lagi. Suara tangis Nola terdengar sangat memilukan di telinga Kinan.
"Yang sakit sebelah mana, Nola?" tanya dokter lagi.
"Kepala Nola sakit, Dokter. Pundak juga sakit."
Dokter mengangguk. "Kondisi airway baik," ujarnya pada tim perawat. "Pasang oksigen dengan kanul."
"Dek Nola, nangisnya berhenti dulu ya. Tante Dokter periksa sebentar."
Mungkin jika tidak dipasangi cervical collar, kepala Nola pasti sudah mengangguk. Isak tangis anak itu kini tinggal sesegukan. Brankarnya sekarang didorong ke sebuah bilik dengan tirai panjang yang mengelilingi, tepat saat itu Yudis bergabung dengan tergopoh-gopoh.
"Gimana, Kin?" tanya Yudis.
"Anda ayahnya?" serobot sang dokter.
"Ya."
"Sejak jatuh, apa Nola sempat kehilangan kesadaran?"
"Tidak, Dok. Dia nggak pingsan. Nangis terus."
Dokter mengangguk. Lalu wanita itu memberi serangkaian perintah pada para perawat. Yudis tidak tahu arti perintah itu, yang jelas pakaian Nola kemudian digunting dan dokter memeriksa dada Nola dengan stetoskop. Selain itu, dokter juga meraba, menekan, dan mengetuk dada Nola di titik tertentu. Saat tangannya dirangsang bergerak, Nola mengaduh lalu menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tak Terganti
RomanceDemi mewujudkan impiannya menjadi chef, Kinanti pergi ke Jakarta dan tinggal bersama tetangga sebelah rumah yang ia cintai sejak remaja, Yudistira. Saat Kinan pikir ia tinggal selangkah lagi dari impiannya, ternyata semuanya perlahan-lahan runtuh d...