Bab 22

13.3K 1.9K 93
                                    

Semoga bab ini bisa bikin kalian senyum-senyum.

Happy reading.

-------

Kursi roda Kinan didorong oleh perawat sampai pintu depan IGD, di mana mobil Yudis sudah menanti. Lelaki itu menerima kruk yang diserahkan perawat dan menyimpannya ke dalam mobil dengan sigap, tetapi ia malah bingung bin kikuk saat sadar bahwa Kinan harus digendong agar bisa duduk di jok mobil.

"Ayo, Pak, cepat. Sebelum ada mobil lain yang akan ngedrop pasien," ujar sang perawat, meminta Yudis bergegas.

Benar. Ini IGD. Ambulans atau kendaraan lain bisa sewaktu-waktu tiba membawa pasien gawat darurat, dan konyol sekali jika Yudis menjadi penyebab pasien terlambat tertangani hanya karena ia enggan menggendong Kinan.

Yudis lalu membungkuk, menyelipkan lengan kanan di bawah lekuk lutut Kinan, sementara lengan lain menyangga punggung gadis itu. Kinan tidak berat, tetapi dengan kedua tangan yang mengalung di lehernya dan kedekatan tubuh mereka, sudah cukup untuk membuat jantung Yudis bekerja lebih giat, memompa darah dua kali lebih cepat. Beruntung Yudis hanya perlu membopong Kinan sejauh sembilan meter, bukan sembilan puluh meter. Saat gadis itu sudah duduk di jok tengah, detak jantung Yudis pun berangsur normal.

Mungkin reaksi berlebihan tubuh Yudis terbaca oleh Kinan, sebab sesampainya mereka di rumah, Kinan bersikeras menolak bantuan Yudis untuk membopongnya dan kukuh ingin mencoba berjalan menggunakan kruk. Kinan mengapit kruk di kedua ketiak. Pelan-pelan ia menganyunkan tongkat bantu itu ke depan, lalu ia memindahkan beban tubuh. Begitu seterusnya sampai ia berhasil mencapai pintu kamar dan akhirnya duduk di tepi ranjang. 

"Istirahat. Kalau perlu apa-apa, panggil aku," pesan Yudis. "Ayo, Nola keluar dulu. Biarkan Tante Kinan istirahat. Jangan diganggu." Yudis menggandeng putrinya keluar.

Kinan masih tetap duduk di tepi ranjang sampai Yudis menutup pintu, lalu pandangannya beralih pada kakinya yang dibalut gips. Menurut dokter, satu bulan lagi gips itu baru bisa dibuka. Setelahnya pun, Kinan masih harus menjalani fisioterapi beberapa kali untuk memastikan semuanya sudah baik seperti semula.

Lalu, apa yang harus ia lakukan selama satu bulan ke depan? Kamar kos dan ruang kelas di RCA ada di lantai dua. Dengan kaki seperti ini, Kinan tentu tidak bisa meniti anak tangga.

Belum sempat Kinan mencari cara, ponselnya menyala dan memunculkan nomor kontak ibunya. Pasti Yudis sudah mengabari Rahayu tentang kecelakaan yang menimpa Kinan dan Bude Rahayu tanpa ragu langsung menyampaikan kabar itu pada ibu Kinan.

"Ya, Bu?" ucap Kinan setelah menggeser ikon hijau.

"Gimana, Nduk? Bude Rahayu bilang kamu jatoh dari tangga, kakimu patah." Suara Astuti terdengar cemas.

"Bukan patah, Bu. Ligamen di tumit kiri robek, jadi harus digips."

"Duh, kok ono-ono wae. Terus piye?"

Kinan menjelaskan ia harus berjalan menggunakan tongkat penyanggga selama kurang lebih satu bulan. Selebihnya, ia baik-baik saja.

"Tadi siapa yang bayar biaya rumah sakit?" tanya Astuti.

"Mas Yudis, Bu," jawab Kinan pelan.

Meskipun BPJS bisa digunakan di luar daerah domisili, Kinan tidak bisa menggunakan fasilitas asuransi kesehatan pemerintah itu karena Yudis tidak membawanya ke faskes tingkat I. Kinan ingat betapa ia merasa bersalah ketika melihat Yudis menggesek kartu debitnya saat melunasi administrasi rumah sakit. Ah, bertambah lagi hutangnya pada lelaki itu.

"Yo wis, nggak usah dipikir. Nanti Ibu yang ngganti ke Mas Yudis. Sekarang yang penting kamu cepat pulih."

"Iya, Bu. Kinan minta maaf."

Cinta Tak TergantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang