Bab 46

11.3K 2.2K 162
                                    

"Dari mana, Kin?"

Kinan yang baru saja memasuki area dapur indekosnya, dikejutkan oleh sosok Winda yang sedang duduk dan bertopang dagu pada meja kitchen island sambil menggulir ponsel.

"Eh, Mbak Winda. Ini …" Kinan mengacungkan kresek kecil yang ada di tangannya, "... aku habis beli nasi uduk buat sarapan." 

"Eh? Tumben lo nggak masak," tanya Winda.

"Aku masih capek, Mbak. Belum mood buat masak. Semalam aku cuma tidur sebentar." 

Akhir pekan kemarin bagaikan rollercoaster bagi Kinan. Jantungnya diajak naik, turun, naik lagi, dan turun lagi. Kecelakaan Nola, putus dengan Albi, penemuan foto Syifa, dan ditutup dengan  pengakuan Yudis. Semua kejutan seolah disimpan untuknya dan ditumpahkan pada saat yang sama. 

Kinan mengambil piring dari lemari kitchen set dan memindahkan nasi uduk ke piring, lalu membuang kertas minyak pembungkusnya ke tempat sampah. "Mau teh anget nggak, Mbak?" tawarnya.

"Boleh, deh," sahut Winda.

Kinan mengambil dua buah mug dan masing-masing diberi teh celup dan gula secukupnya. Lalu, satu per satu, mug diletakkan di bawah keran dispenser air panas. Segera saja, aroma wangi teh menyapa indra penciumannya.

Kinan meletakkan salah satu mug di hadapan Winda. Ia menyesap sedikit teh bagiannya sebelum duduk berseberangan dengan Winda dan mulai menyantap nasi uduk. 

"Wah, muka lo parah, Kin. Item banget di bawah mata," komentar Winda setelah meneguk setengah isi mug-nya.

Kinan spontan menyentuh area bawah matanya. "Keliatan banget ya, Mbak?" tanyanya cemas. Jujur, ia malas menghadapi pertanyaan seperti yang diajukan Winda saat tiba di RCA nanti.

"Ntar gue pinjemin concealer, deh. Lo lembur nge-drakor ya?"

"Sedang banyak yang dipikir, Mbak. Mata nggak mau diajak merem," jawab Kinan.

Tidur nyenyak adalah hal yang mustahil baginya tadi malam. Benaknya sibuk memutar ulang semua kenangan masa kecilnya bersama Yudis. Sejak kapan lelaki itu mulai menyukainya? Apa saat giginya masih ompong? Atau saat tubuhnya mulai mekar? Kinan dibuat resah berkelanjutan. Nasi uduk yang tinggal separuh pun tak lagi menggugah seleranya.

"Yaelah, mikir apa sih? Cowok lo yang itu? Kirain kalian putus habis bertengkar hebat pas dulu itu."

"Malah nggak sempet mikirin dia, Mbak. Dan omong-omong, kami udah putus. Albi juga udah balik ke Lumajang."

"Hah? Putus? Beneran?" Mata Winda melebar.

"Dia nggak dukung aku sekolah di RCA, Mbak. Males aku sama cowok kayak gitu."

Winda menganggukkan kepala lalu mengacungkan ibu jari. "Sip. Keputusan lo bener, Kin. Kita sebagai cewek harus tahu arah tujuan hidup kita dan tujuan hidup itu bukan sekedar membahagiakan orangtua, menikah. Tujuan nggak bisa abstrak kayak gitu. Harus jelas. Kayak lo, nih, pengin jadi chef. Atau gue, mau jadi financial planner."

"Waktu kecil aku sering ngayal tentang pernikahan lho, Mbak. Pake gaun putih yang roknya ngembang gitu."

"Lo pasti keracunan film princess Disney." Tebakan Winda seratus persen jitu.

Kinan terkekeh kecil. "Hehehe, iya kayaknya, Mbak. Namanya juga anak kecil." Kinan berhenti sejenak untuk menimbang hal yang akan ia katakan selanjutnya. Winda lebih dewasa darinya, mungkin cewek itu bisa membantunya menemukan jawaban.  "Mbak Win, aneh nggak sih, kalau ada cowok yang ngaku suka sama kita, tapi nggak minta kita jadi ceweknya?"

Cinta Tak TergantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang