Jantung Kinan mencelus. Suara Yudis kental bermuatan amarah. Ditatapnya lekat lelaki yang berdiri di ambang pintu. Kecuali beberapa kerutan samar di dekat mata, waktu lima tahun yang berlalu seakan tidak memberi efek berarti pada fisik Yudistira. Ayah Nola masih sama menawannya dengan versi jejaka.Rambut ikal Yudis tersisir rapi dengan bantuan gel rambut. Sepasang alis tebal menaungi mata hitam tajam laksana elang. Bakal cambang menghiasi rahang tegasnya, menyamarkan dagu belah yang sangat Kinan sukai. Bahkan setelah sekian lama, Yudis tetap mampu menimbulkan rasa hangat di dada seorang Kinanti.
Kinan menarik napas panjang beberapa kali sebelum bersuara. Tetap tenang, dia mengingatkan diri sendiri. "Kinan harap sekarang belum terlambat untuk minta maaf," ujarnya.
Yudis mendengkus kasar. "Apa jaminannya kamu nggak akan kembali edan seperti dulu?"
Kinan mengangkat bahu. "Dulu Kinan masih remaja, masih sering terbawa emosi. Jadi grusa-grusu dalam bertindak, tapi Kinan sudah lebih dewasa sekarang."
"Dewasa kamu bilang? Usiamu bahkan baru sembilas belas lebih dua bulan."
Meski diucapkan dengan nada mengejek, kalimat Yudis secara tak langsung mengungkapkan fakta bahwa lelaki itu masih mengingat tanggal ulang tahun Kinan. Namun, Kinan tidak tahu itu pertanda baik atau buruk.
Suara langkah cepat sepasang kaki kecil terdengar dari belakang Kinan, membuatnya juga Yudis menoleh. Nola berseru seraya setengah berlari, sebuah boneka Doraemon berada di pelukannya. "Papa, kamar Tante Kinan baguuus. Banyak Doraemon-nya."
Yudis tahu Kinan memang sangat menggemari tokoh robot kucing ajaib teman Nobita itu. Sejak kecil, Kinan selalu tidak bisa menahan diri jika melihat pernak-pernik Doraemon.
"Papa, lihat nih rambut Nola bisa dikepang dua. Beneran kayak Princess Anna. Cantik, kan?" Sesuai janji Kinan, rambut Nola kini dihiasi dua kepang kecil di sisi kanan dan kiri, masing-masing di dekat telinga. Membuat penampilannya kian manis.
Yudis berjongkok dan menyentuh salah satu kepang. "Iya, anak Papa cantik banget," pujinya disertai seutas senyum.
Ah, senyum itu. Dulu sering sekali terulas untuk Kinan. Lalu Kinan pasti akan menekankan telunjuk ke pipi kanan Yudis, tempat sebuah lesung pipi bersemayam. Lesung pipi itu hanya akan terlihat jika si empunya tersenyum lebar. Dulu Kinan selalu mengagumi ciri fisik yang sama-sama mereka miliki: lesung pipi tunggal di pipi kanan.
"Papa sih nggak pinter. Mbak Ratih juga. Masa bikin kepang rambut aja nggak bisa. Tante Kinan nih hebat banget, bisa ngepang rambut Nola cepet banget."
"Harusnya Nola nggak kepang rambut dulu. Nola kan belum mandi. Ingat nggak, Papa bilang apa? Kalau habis pergi jauh kita harus ngapain?"
"Cuci tangan, ganti baju, nggak salaman. Nanti bawa virus." Nola diam sejenak seolah sedang merenungkan kesalahannya. "Tapi kan kita udah dites, Pa. Kata Papa virusnya nggak ada di tubuh kita."
Nola pasti mengacu pada hasil SWAB Antigen mereka yang menunjukkan hasil negatif.
"Tapi jaga-jaga itu perlu, Sayang. Nola nggak mau kan kalau Eyang atau Tante Kinan kena virus yang mungkin aja nempel di baju Nola."
"Tante, maafin Nola ya."
Melihat kepala Nola tertunduk, Kinan pun tak tega. "Nggak usah cemas, Sayang. Habis ini Tante langsung mandi, deh. Pakai sabun yang banyak supaya virus dan kuman pada mati."
Yudis bangkit berdiri dan mengangkat Nola dalam gendongannya. Gerakan yang semakin menonjolkan kekuatan otot bisep trisepnya. "Ayo pamitan sama Tante Kinan. Nola mau makan dan istirahat dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tak Terganti
RomanceDemi mewujudkan impiannya menjadi chef, Kinanti pergi ke Jakarta dan tinggal bersama tetangga sebelah rumah yang ia cintai sejak remaja, Yudistira. Saat Kinan pikir ia tinggal selangkah lagi dari impiannya, ternyata semuanya perlahan-lahan runtuh d...