"Aku tetap berangkat sekolah, Bi. Ini bukan cedera parah." Kinan memindahkan ponsel yang menempel di telinga kanan ke telinga kiri. Sedikit was-was Yudis bisa mencuri dengar perkataan Albi. Namun, Yudis tidak menunjukkan tanda-tanda terganggu, pria itu tetap memandang lurus ke jalanan, mengemudikan mobil dengan tenang.
"Nggak sakit buat bergerak, kamu kan harus masak di RCA?"
"Masaknya kan nggak perlu cepat-cepat. Ini sekolah, Bi, bukan lomba memasak. Lagian, masak itu pakai tangan bukan kaki."
"Berangkat dan pulangnya gimana?"
"Ini diantar Mas Yudis." Kinan melirik tak nyaman pada Yudis yang duduk di sebelahnya. "Udah, deh. Nggak perlu cemas berlebihan. Gimana KP-mu? Udah dapat perusahaan buat magang?"
"Sudah."
"Di mana?"
"Rahasia."
"Gitu, ya? Sekarang main rahasia-rahasiaan segala."
Albi mengekeh di seberang sana. "Nanti kamu juga tahu, kok," ucapnya masih sok rahasia.
Kinan mencebik, tapi tentu saja Albi tidak bisa melihatnya. "Udah dulu ya, Bi. Ini udah hampir sampai RCA. Bye. Take care," tutup Kinan kemudian menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas.
"Sudah selesai apel pagi dengan pacarmu?" komentar Yudis sarat sindiran. Bagi Yudis, kegiatan bertelepon antara Kinan dan Albi sudah mengalahkan rutinitas apel pagi Aparatur Sipil Negara.
"Nggak usah dinyinyirin, deh, Mas."
Yudis mendengkus. "Tadi, sebelum kita berangkat, aku telepon Bu Atika. Kamar kosmu aku cancel. Dia juga sudah mengembalikan DP yang kemarin kubayarkan," katanya mengganti topik.
Informasi dari Yudistira tentu membuat Kinan kaget. "Kenapa dibatalkan, Mas?"
"Kakimu cedera. Gimana caranya kamu naik ke lantai dua?"
"Kan bisa disuruh nunggu sampai bulan depan, Mas. Toh, sudah bayar DP."
"Ada orang lain yang mau sewa. Bu Atika lebih pilih kamar itu disewakan untuk orang lain daripada menunggu kamu sembuh."
Ya, benar juga. Kalau sudah menyangkut urusan uang, tidak ada yang bisa Kinan lakukan. Apa haknya menahan rezeki orang lain?
Avanza Yudis mulai menepi dan memasuki pelataran parkir RCA. Yudis mematikan mesin dan mengitari mobil lalu membantu Kinan turun. Saat Kinan sudah menapak dengan bantuan tongkat kruk, sebuah sepeda motor berhenti di samping mobil Yudis.
"Kinan, kakimu kenapa?" Nuri turun dari motornya dan keheranan melihat gips di pergelangan kaki kiri Kinan. Memang mencolok sekali, apalagi Kinan memakai rok sebetis.
"Keseleo. Jatuh dari tangga."
"Astaga. Kok bisa?"
"Nanti kuceritain, deh." Kinan melangkah menuju bangunan sekolah memasak itu. Nuri membantunya membukakan pintu dan menahannya sampai Kinan melewatinya, sedangkan Yudis mengawasi dari belakang sambil membawakan tas selempang Kinan.
Langkah Kinan terhenti di depan tangga. Walaupun sudah mulai terbiasa bergerak dibantu tongkat, Kinan tetap tidak tahu caranya meniti anak tangga dengan alat bantu berjalan itu.
"Bisa nggak?" tanya Yudis.
"Nggak tahu, Mas. Aku coba dulu ya." Kinan menyerahkan tongkat sebelah kiri pada Nuri. Tangan kiri memegang erat pegangan tangga, sementara tangan kanan menjaga kruk di bawah sisi lengan. Kinan menekankan kruk pada anak tangga pertama, kemudian melangkah naik dengan kaki yang sehat terlebih dahulu, lalu kaki yang cedera mengikuti memijak di anak tangga pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tak Terganti
RomanceDemi mewujudkan impiannya menjadi chef, Kinanti pergi ke Jakarta dan tinggal bersama tetangga sebelah rumah yang ia cintai sejak remaja, Yudistira. Saat Kinan pikir ia tinggal selangkah lagi dari impiannya, ternyata semuanya perlahan-lahan runtuh d...