Bab 42

13.3K 2.3K 261
                                    

Kinan menghitung sampai lima di dalam hati, lalu menarik napas panjang. Langkah awal menghimpun keberanian yang ia butuhkan untuk menurunkan tangan Yudistira dari wajahnya. 

"Mas Yudis ngelindur ya?" tanya Kinan dengan nada setenang mungkin.

Yudis tersentak, menoleh ke kanan kiri, lalu beristighfar. "Astaghfirullah, aku ketiduran ya?" ucapnya sambil mengusap wajah. Yudis memandang Kinan dengan tatapan menelisik. "Kamu sudah datang dari tadi, Kin?"

Kinan menegakkan tubuh, mencari kegiatan dengan membetulkan letak selimut Nola. Yudis pasti sedang bermimpi saat dibangunkan tadi. Tetapi, memimpikan siapa? Entah mengapa, Kinan tidak ingin tahu jawabannya. 

"Barusan, kok. Kinan perginya kelamaan ya, Mas? Sampai Mas Yudis ketiduran."

Yudis mengecek arlojinya. "Kamu nggak lama," balasnya. "Peristiwa hari ini terlalu mengejutkan dan menguras emosi. Lihat Nola terbaring di ranjang rumah sakit, aku seperti dilempar ke masa lalu, waktu dia baru lahir. Sampai dia mengalami kecelakaan seperti ini, aku merasa bersalah sama Mamanya karena aku nggak becus jagain Nola."

"Ini kecelakaan, Mas. Terjadi di luar kuasa kita." 

Mama Nola? Apakah kata 'Ma' yang diigaukan Yudis merupakan penggalan dari kata 'Mama'? Jadi Syifa-lah yang tadi dibayangkan Yudis saat dibangunkan. Kinan mendadak merasa ada jarum runcing yang menusuk ulu hatinya. Yudis pastilah sangat merindukan mendiang istrinya itu. Terlebih lagi, kecelakaan menimpa putri semata wayang mereka. Pasangan orangtua pasti butuh saling menguatkan dalam kondisi seperti ini. Tanpa alasan yang jelas, batin Kinan dihinggapi perasaan tak nyaman yang terasa seperti cemburu. 

"Pakaian Mas Yudis ada di koper. Peralatan mandi juga." Kinan menunjuk sudut kamar dengan dagu. Lebih baik ia menghentikan topik pembicaraan ini. 

Yudis mengusap wajah sekali lagi lalu bangkit berdiri. Ia meninggalkan kursi dan berjalan melintasi ruangan ke tempat Kinan menyimpan koper. Pria itu kemudian membuka koper, mengambil barang-barang yang ia perlukan dan menghilang ke kamar mandi.   "Aku mandi sebentar," pamitnya pada Kinan. 

Ditilik dari gelagatnya, tampak Yudis sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah atau penyesalan sebab telah menyentuh Kinan. Meskipun bukan sentuhan kurang ajar, tetapi jantung Kinan sempat berdebar kencang penuh antisipasi, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Yudis selanjutnya. 

Mungkin Yudis benar-benar tidak sadar saat menyentuh Kinan tadi. Menyentuhnya sambil membayangkan Syifa! Kinan menggeleng, mengusir segala perasaan kesal yang tak seharusnya bercokol. 

Yudis tidak butuh waktu lama untuk mandi. Setelah pria itu bersih dan segar, mereka makan bersama tanpa diisi perbincangan. Setelah kotak makanan dibuang ke tempat makan, barulah Kinan bersuara. "Nola sudah mulai makan, Mas?" tanyanya. 

"Perawat bilang sudah boleh makan, sedikit-sedikit. Tadi dia aku suapi nasi dan sup dari rumah sakit. Cuma masuk sedikit. Katanya, minta kue cokelat aja."

"Kinan udah beliin kuenya. Ada di kulkas."

Yudis mengucapkan terima kasih. "Semoga besok Nola sudah boleh pulang," sambungnya. 

Kinan mengamini. Ia lalu pergi ke wastafel dan menggosok gigi. Melihat itu, Yudis cepat-cepat mengecek jam. Sekarang pukul setengah sepuluh malam. Masih tergolong sore untuk ukuran Jakarta.  

"Kamu nggak harus ikut menginap di sini, Kin," usulnya sekonyong-konyong. "Kamu bisa pulang ke kosan."

Kinan menoleh, keningnya mengernyit. Ia sudah mempersiapkan diri untuk tidur di rumah sakit. Mengapa sekarang mendadak disuruh pulang? 

Cinta Tak TergantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang