Bab 1

29.9K 2.9K 122
                                    

Hari itu Yudistira menyadari dirinya punya satu kelemahan fatal. Di depannya, tepat di bawah pohon rambutan samping rumah, seorang gadis kecil tengah berjongkok sambil menangis tersedu-sedu. Meski dikalahkan oleh dengung suara pelayat yang melantunkan ayat-ayat Surah Yasin, isak si gadis tetap terdengar menusuk di telinga Yudis.

Wajah Kinanti kecil terbenam di antara dua lutut. Rambut pendek sekuping jatuh menjuntai, basah dan kusut oleh keringat akibat matahari yang terik. Entah sudah berapa lama dia menangis di sana.

"Kin? "

Hanya itu yang bisa diucapkan Yudis karena jantungnya sendiri seakan terpilin kala gadis delapan tahun itu mendongak. Mata sembab berwarna kemerahan menatap sendu, menyebarkan pilu di dada Yudistira. 

"Mas Yudis ... Ba-bapak ..." isak Kinanti terbata-bata. Bahu kurusnya yang tertutup kaus Doraemon tipis bergetar hebat. Air mata terus membanjiri pipi tirusnya.

Yudis maju dan ikut berjongkok. Kedua lengan terulur ke arah si gadis kecil. Kinan lalu menghambur ke dalam pelukan Yudis, mengalungkan lengan kurusnya di leher pemuda itu.

"Nangis sampai kamu puas, Kin. Kalau kamu kangen Bapak, nanti Mas antar ke makam." Yudis berdiri, membawa Kinan dalam gendongan. "Sekarang Mas yang akan jaga kamu, menggantikan Bapak."

***

"Ibu nggak mau tahu. Nggak ada alasan lagi. Pokoknya kamu harus pulang. Ibu sakit, kayaknya Ibu kena Corona. Kalau Ibu mati, gimana? Ini lho, dada Ibu udah sesak banget." Wanita tua di ujung sambungan telepon mengeluarkan suara batuk yang dibuat-buat lalu terdengar tarikan napas panjang. "Lagian, sudah lima tahun kamu nggak nyekar makam bapakmu. Mau jadi anak durhaka?"

"Iya, Bu. Yudis pulang," desah Yudistira kalah.

Yudis mengusap wajah. Potongan percakapan via telepon dengan Rahayu, sang ibu, terngiang kembali.  Mau jadi anak durhaka? Kalimat itu masih bergaung lantang, seperti diucapkan tepat di telinganya. Menyentil Yudis tepat di ulu hati.

Ya, Yudistira merasa dirinya tak ubahnya Malin Kundang yang melupakan orangtua dan kampung halaman. Malin Kundang versi zaman now, aku Yudis miris. Terakhir kali ia pulang kampung adalah lima tahun yang lalu, beberapa bulan setelah Syifa meninggal, saat Nola baru berusia satu tahun.

Rahayu tidak tahu ada peristiwa yang menjadi alasan Yudis enggan menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, Lumajang. Kabupaten kecil di Jawa Timur bagian selatan yang merupakan daerah penghasil pisang terbanyak di Indonesia.

Lima tahun. Rentang waktu yang sangat lama. Seperti apa desanya sekarang?

Suara erangan kecil di kursi belakang membuat Yudis menoleh. Nola sedang menggeliatkan tubuh, terbangun dari tidur. Yudis mengusap keringat di dahi Nola dengan sapu tangan. Anak itu selalu berkeringat jika tidur, bahkan di ruangan ber-AC sekalipun. Yudis menawari Nola memakai masker dan anak itu memasangnya patuh.

"Sudah sampai rumah Eyang, Pa?" tanya Nola.

"Belum, Kak. Sebentar lagi."

Selama ini Rahayu-lah yang selalu datang ke Jakarta jika sedang ingin bertemu Nola. Maklumlah, Nola adalah cucu semata wayang sebab Yudis pun anak semata wayang. Kadang kala, sang nenek tidak kuasa menahan rindu.  Jadi Yudis akan mengatur fasilitas perjalanan kelas eksekutif Lumajang-Jakarta untuk ibunya dan Rahayu tidak pernah keberatan. Wanita yang melahirkannya itu memaklumi situasi Yudis.

Namun, sepertinya sekarang Rahayu tak mau lagi mengambil posisi sebagai pihak yang mengerti. Sebaliknya, dia ingin dimengerti. Ultimatum Rahayu tidak bisa ditawar. Jika Yudis menolak pulang, dia durhaka. Sebuah dosa yang takkan pernah sanggup Yudis tanggung.

"Itu pohon apa, Pa? Tinggi banget, ada buahnya besar-besar."

Nola merebut perhatian Yudistira dengan pertanyaan penuh semangat. Gadis kecil itu menunjuk ke luar jendela, pada sebuah pohon yang menjulang tinggi di depan sebuah rumah Jawa bermodel joglo.

"Itu pohon sukun, Kak. Belum pernah lihat di Jakarta ya?" Suara Yudis sedikit teredam masker kain yang ia pakai.

"Sukun? Buahnya manis, Pa? Rasanya kayak durian, ya?" tanya Nola lagi.

"Mmm ... buah sukun itu agak berbeda. Rasa sukun itu mirip roti. Nggak bisa dimakan langsung. Harus digoreng atau direbus. Tapi kalau sudah diolah jadi makanan, rasanya enak banget. Empuk."

Wajah Nola berbinar. "Hwooaaa, berarti di dalam buah itu ada cokelatnya, Pa? Atau krim keju?"

"Hah?" Sang papa melongo saking bingungnya. Pasti Nola mengasosiasikan penjelasan tentang sukun yang terasa seperti roti dengan roti isi selai cokelat atau krim keju yang biasa dia beli di toko kue. Walaupun putrinya sudah berusia enam tahun, hal-hal tertentu masih sulit ia pahami dengan cepat. "Mmm, bukan gitu, Kak. Besok kita minta Eyang beli sukun, deh. Biar Kakak cobain rasa sukun. Papa bingung ngejelasinnya."

Nola menggumamkan kata 'oke' lalu kembali memandang ke luar jendela. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan. Meski lelah setelah penerbangan Jakarta-Malang yang masih disambung berkendara dengan mobil selama empat jam, putrinya itu tampak bersemangat. Matanya berbinar menyaksikan hamparan pemandangan desa yang masih asri. Pasrujambe dan Jakarta tentu sangat berbeda. Besok, saat dibawa berkeliling perkebunan pisang, pasti Nola akan takjub melihat pisang bertandan-tandan menggantung di pohon. 

Mobil sewaan yang mereka tumpangi mulai memasuki kawasan desa . Beberapa rumah penduduk tampak baru, mengikuti desain minimalis yang sedang ngetrend. Namun, beberapa rumah lainnya masih terlihat ajeg. Mobil melintasi sekolah dasar tempat Yudis bersekolah dulu. Di samping SD, lapangan desa tempat Yudis kecil bermain layang-layang atau sepak bola masih tak berubah. Yudis mendesah. Dia tak bermaksud menjadi kacang yang lupa pada kulitnya. Yudis punya alasan tersendiri yang membuatnya tak pernah pulang selama lima tahun terakhir.

Yudis memberi perintah agar sopir menepikan mobil di depan sebuah rumah berpagar kuning. Rumah masa kecilnya yang kini hanya ditinggali Rahayu seorang diri.

"Sampai, Kak. Ini rumah Eyang," ucap Yudis pada Nola. Putri kecilnya bersorak.

"Kak, pakai hand sanitizer dulu."

Nola menyemprotkan hand sanitizer pada kedua telapak tangannya.

"Hati-hati, Kak," tegur Yudis saat melihat Nola melompat turun dari mobil dan nyaris jatuh. Peringatan yang hanya dibalas dengan cengiran singkat dari bibir gadis kecilnya itu karena Nola segera berlari masuk ke rumah sambil memanggil-manggil nama neneknya, masker sudah tercampakkan dari wajah.

Yudis menurunkan barang bawaan mereka dari bagasi dan membayar jasa sewa mobil. Dengan dibantu sopir, Yudis membawa koper-koper itu ke dalam rumah.

"Duh, Gusti. Cucu Eyang sudah besar. Eyang kangen," ucap Rahayu sambil menciumi kedua pipi Nola yang gembil.

"Katanya kena Corona? Kena Corona kok nyium-nyium? Nanti menular lho, Bu." Yudis menyemprotkan hand sanitizer dan melepas masker.

Sindiran Yudistira tak elak membuat Rahayu manyun. Sejak awal Yudis pasti tahu ibunya hanya berpura-pura sakit. Rahayu melepaskan pelukannya untuk Nola dan berdiri menyambut putra tunggalnya. Yudis mencium tangannya dengan takzim.

"Ibu senang kamu pulang, Yud." Rahayu menepuk-nepuk bahu bidang Yudis, lalu berseru ke arah dapur, "Kinan, Mas-mu udah datang. Bawa ke sini minumannya."

Yudistira terkesiap. Dari pintu dapur, muncul sesosok gadis berambut panjang sepunggung membawa sebuah nampan berisi tiga buah gelas teh hangat.

Dada Yudis berdesir. Namun, berkebalikan dengan rasa panas di dadanya, tatapan pria itu menyorot Kinanti dengan dingin.

Sial. Yudis pikir dirinya sudah siap bertemu lagi dengan Kinan, tapi rupanya dia keliru.





Cinta Tak TergantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang