Bab 35

12.1K 1.9K 110
                                    

Kinan menelan ludah. Gugup seketika menyergapnya. Ia sama sekali tak menyangka Albi mencuri dengar percakapannya dengan Yudistira. Sekarang, Albi masih menatapnya tajam. Oke, Kinan tahu pacarnya sedang marah. Marah sekali, bukan sekedar kesal.

"Bi, aku bisa jelasin."

Albi bangkit, meninggalkan sofa, bergerak ke arah pintu lalu menutupnya.

"Bi, kok ditutup?" protes Kinan.

Seperti apa yang dijanjikan Kinan pada Yudis, dia akan menjaga dirinya baik-baik. Karena itu, Kinan tidak pernah menutup pintu kamar jika Albi sedang berkunjung.

"Aku nggak mau orang lain dengar percakapan kita," tukas Albi cepat.

Kinan menarik napas panjang. Okelah, satu kali ini mungkin tidak masalah. Kinan sudah bisa meraba kemungkinan terjadinya pertengkaran. Pertengkaran mereka yang pertama. Jika pertengkaran memang sudah tak terhindarkan, tentu saja Kinan tidak ingin ada yang menonton atau mencuri dengar.

"Kamu salah paham, Bi," ucapnya lamat-lamat. Berusaha melunakkan hati Albi yang sedang mengeras karena amarah. 

"Aku dengar dengan jelas kalau kamu pernah nyium Mas Yudis. Aku nggak budek. Aku kira selama ini kamu nggak ada hubungan apa-apa sama dia. Ternyata aku salah."

"Aku emang nggak ada apa-apa sama Mas Yudis. Ciuman itu terjadi lima tahun yang lalu. Waktu aku masih SMP. Mas Yudis bahkan marah besar setelah aku cium," terang Kinan yang berhati-hati dalam memilih intonasi. Amarah tidak bisa dilawan dengan kemarahan pula.

Wajah tegang Albi tidak menunjukkan tanda-tanda melunak. Pemuda itu masih setia memasang tampang sangar. "Dan ada apa sampai kamu cium dia? Masih SMP udah cium-cium cowok," sinisnya.

"Oke, aku ngaku. Dulu aku pernah suka sama Mas Yudis."

Kinan ingat ia mulai merasa jatuh cinta pada Yudis ketika duduk di kelas enam SD. Kinan kecil mendadak rajin memakai bedak dan memastikan rambut panjangnya selalu rapi setiap akhir pekan, saat Yudis pulang ke Lumajang. Lalu benaknya mulai teracuni tayangan sinetron dan drama Korea. Dalam pikiran Kinan, pasti indah rasanya jika punya kekasih yang juga menyayanginya. Dan, Yudis menyayanginya! Jadi dari situlah cinta monyetnya bermula. Dari pikiran lugu seorang gadis yang baru memasuki masa pubertas.

"Itu cuma cinta monyet, Bi," imbuh Kinan cepat-cepat. "Mas Yudis satu-satunya cowok dewasa yang dekat dengan aku, jadi wajar kalau aku naksir dia. Tapi itu kan cuma perasaan anak kecil, seharusnya kamu nggak perlu cemburu."

"Aku gak boleh cemburu?" Nada suara Albi semakin meninggi.  "Aku ini pacarmu dan kita bahkan belum pernah melakukan apa pun selain pegangan tangan. Sementara Mas Yudis yang bukan siapa-siapamu malah sudah dapat ciuman pertamamu."

Kening Kinan mengernyit. Entah bagaimana, kalimat Albi seolah menunjukkan maksud lain dari tujuan pemuda itu dalam menjalin kasih dengannya. Seolah Albi hanya berorientasi pada keintiman fisik.

"Bi, tolonglah, nggak usah dibesar-besarkan. Itu kejadian udah lama. Aku cuma anak kecil yang kebanyakan nonton drakor. Jadi terlalu banyak terpapar romantisme yang dijadiin bahan jualan orang Korea."

"Nggak usah dibesar-besarkan? Kamu minta aku bersikap biasa aja saat aku tahu pacarku pernah mencium cowok lain, sedangkan sama aku aja kamu nolak terus?"

"Bi, kamu kan tahu? Aku belum siap."

"Belum siap. Belum siap!" cibir Albi. "Sama Mas Yudis, kamu nggak pakai persiapan!"

Kinan tidak akan bersikap sok polos dengan menampik fakta bahwa sebuah hubungan pasti melibatkan kontak fisik juga. Namun, baginya, yang paling penting dalam hubungan pacaran adalah bagaimana kita saling mengerti, saling menyayangi, dan saling mendukung dalam hal positif. Ciuman gegabahnya dengan Yudis adalah kesalahan. Karena itu, ia tidak mau mengulangi kecerobohan yang sama dengan Albi.

Cinta Tak TergantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang