Yudis baru saja menyelesaikan lari pagi, berkeliling dusun, menyapa beberapa tetangga yang masih mengingatnya. Sebagian besar tentu bertanya mengapa Yudis tidak pernah pulang sampai bertahun-tahun lamanya. Jawaban Yudis pun klise: sibuk.
Yudis membuka gerbang dan langsung disambut oleh suara rengekan Nola. Di teras, putrinya sedang menarik-narik daster Rahayu yang sedang menyiram tanaman.
"Eyang, sukunnya mana?"
Semalam, pada sang nenek, Nola menceritakan ulang deskripsi Yudistira tentang buah sukun dan rasa penasarannya kian menjadi. Nola ingin tahu seperti apa rasa 'buah roti' itu. Alhasil, anak kecil itu meminta agar Rahayu membeli sebuah sukun pagi ini.
"Tunggu, tadi Eyang sudah titip Tante Kinan supaya beli di pasar."
"Tante Kinan yang beli?" tanya Nola memastikan. Ketika Rahayu mengangguk, anak itu pun tersenyum semringah. "Nola tunggu di rumah Tante Kinan aja deh."
Tanpa menunggu diperbolehkan, Nola langsung berlari ke samping rumah dan melewati pintu penghubung. "Tante Kinan, Tante Kinan," panggilnya.
Yudis menatap ibunya. Kedikan kepala dari Rahayu merupakan perintah tanpa suara agar dia mengikuti sang putri ke rumah sebelah. Yudistira cepat mencuci tangan di keran air depan rumah dan segera menyusul Nola.
Pintu rumah Kinan terbuka tetapi bukan sosok gadis berambut panjang itu yang keluar dari dalam rumah, melainkan Astuti, sang ibu. Usia Astuti lebih muda daripada Rahayu. Karena itu, Yudis memanggilnya Bulik.
Ekspresi bingung tercetak jelas di wajah Astuti kala memandang gadis kecil yang mencari-cari putri sulungnya. "Tante Kinan pergi ke pasar," jawab Astuti, lalu dia melihat sesosok pria yang familier di belakang gadis kecil itu. "Yudis?" tanyanya, "Kapan datang?"
Yudistira tersenyum. "Kemarin, Bulik."
"Oh iya, Mbakyu Rahayu sudah pernah bilang kalau kamu mau pulang, tapi Bulik yang lupa. Lama di sini?"
Yudis menghampiri Astuti dan berjabat tangan. "Seminggu saja, Bulik."
"Sudah lama sekali kamu nggak pulang ke sini."
"Iya, Bulik. Sampai dimarahin Ibu."
Astuti tersenyum, lucu sekali pria berumur tiga puluh satu masih mempan diomeli ibunya. "Itu anakmu?" tanyanya begitu kembali memandang anak kecil yang sedang bergelayut di kaki Yudistira.
"Iya, Bulik. Kak, ayo salim dulu sama ibunya Tante Kinan." Yudis melepaskan belitan tangan Nola dari kakinya dan mengarahkan tangan kanan anaknya itu untuk berjabat tangan dengan Astuti.
"Wah, pintere," puji Astuti saat Nola mencium punggung tangannya. "Bulik jadi ingat zaman Kinan kecil. Punya anak perempuan itu nyenengke."
"Begitulah, Bulik."
"Kamu belum kepikiran buat cari istri lagi?"
"Belum, Bulik. Saya belum mikir ke sana."
"Sudah lama banget kamu menduda, Yud."
"Bulik juga sudah lama menjanda."
"Kamu ini lho. Malah ngece Bulik. Bulik nggak nikah lagi karena sibuk mikir gimana caranya supaya dapur tetep ngebul setelah bapaknya Kinan meninggal."
Ya, Yudis tahu pasti seperti apa perjuangan Astuti menghidupi keluarga kecilnya. Mendiang ayah Yudis membantu Astuti untuk menjadi guru honorer di SMP, tetapi gaji seorang guru honorer tentu tidak cukup untuk membiayai kehidupan tiga orang. Karena itu, Astuti memberikan les privat Matematika di sana sini pada sore hari.
Astuti pun menjelma menjadi ibu tunggal pekerja keras. Seluruh hidupnya didedikasikan untuk mencari nafkah. Tak ada lagi waktu untuk memanjakan kedua buah hatinya. Akibatnya, Kinanti menjadi dewasa terlalu cepat. Di usia delapan tahun, putri sulungnya itu terpaksa mengambil alih tugas mengasuh Wisnu yang saat itu masih balita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tak Terganti
RomanceDemi mewujudkan impiannya menjadi chef, Kinanti pergi ke Jakarta dan tinggal bersama tetangga sebelah rumah yang ia cintai sejak remaja, Yudistira. Saat Kinan pikir ia tinggal selangkah lagi dari impiannya, ternyata semuanya perlahan-lahan runtuh d...