Kinan terdiam lama. Telinganya mendadak tuli terhadap segala suara di sekitarnya. Bahkan tak satu kata pun dari riuhnya ocehan Nola tertangkap oleh gendang telinganya.
Syifa remaja yang terlihat sangat mirip dengannya, mungkinkah hanya kebetulan? Tidak, benak Kinan membantah dengan keras. Kinan ingat Nola pernah berkata bahwa Yudis mengganti semua foto dan menyimpan foto Syifa sesaat sebelum Kinan datang ke Jakarta. Jadi, fix, semua ini tidak mungkin sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang ingin disembunyikan Yudis darinya. Tetapi, apa?
Tangan Kinan bergerak membuka halaman demi halaman album foto itu. Ia dan Syifa bukan bagai pinang dibelah dua. Tidak sama persis. Hanya saja, dalam pose-pose tertentu Syifa memang terlihat mirip dengannya. Terutama karena Syifa muda juga berambut panjang dan berlesung pipi tunggal. Setelah wanita itu berhijab, Kinan merasa kemiripan mereka berkurang.
Kinan tidak tahu sudah berapa lama dirinya sibuk mengamati foto-foto Syifa, tahu-tahu bahunya digoyang oleh Nola. Kinan menoleh dan menunjukkan tampang bingung pada gadis kecil itu.
"Tante, tolong ambilin foto Mama yang ini." Nola menunjuk pada sebuah foto Syifa yang tengah hamil besar.
Kinan melepas foto tersebut dari halaman album yang berperekat, lalu memberikannya pada Nola. Anak itu tersenyum sendu seraya mengusap gambar sang mama dengan ibu jari.
"Tante bisa simpan foto ini di pigura?" pinta Nola lagi.
Kinan mengedarkan pandang ke seluruh kamar. Matanya menumbuk pigura berukuran 4R di meja belajar Nola. Kinan berdiri untuk meraih pigura tersebut. "Pakai figura ini, nggak apa-apa? Foto Nola disimpan saja di laci, diganti foto Mama."
Nola pun setuju. Setelah foto di dalam pigura diganti oleh Kinan, Nola mengamati foto mendiang ibunya sekali lagi. "Yang di dalam perut Mama itu Nola waktu bayi kan, Tante?"
"Eh, iya. Nola masih berupa bayi kecil banget."
"Kenapa Tuhan jemput Mama ke surga ya, Tante? Nola jadi nggak punya ibu."
Hati Kinan tercubit. Dulu, ia pernah mempertanyakan hal yang mirip. Mengapa ayahnya berpulang sedemikian cepat?
"Karena Tuhan hanya memberi waktu sebentar untuk Mama Nola di dunia. Tuhan ingin Mama Nola lebih lama di surga. Sama seperti ayah Tante Kinan."
Nola mengembuskan napas berat. Kinan sampai bisa melihat bahu anak itu naik, kemudian turun. "Terus, caranya gimana ya biar aku punya ibu? Nola kan pengin punya mama juga, seperti Mbak Keisya."
"Nola punya Papa, Eyang di Lumajang, Tante Kinan dan juga Mbak Ratih. Semua sayang Nola."
"Tapi beda, Tante. Papa itu cowok, tugasnya kerja di kantor. Waktu aku belajar sama Bu Iffah, aku baca kalau Mama itu yang masak, ngajak main. Kayak gini nih, Tante. 'Ayah pergi ke kantor. Ibu memasak di dapur.'"
Ah, mengapa pelajaran membaca harus disisipi stereotip seperti itu? Batin Kinan memprotes. Dalam sebuah rumah tangga, bisa saja sang ayah yang bertugas memasak karena memang lebih andal dan keluarga tetap bisa berjalan sesuai fungsinya.
"Kalau Nola ingin punya ibu, artinya Papa harus menikah lagi. Nah, untuk bagian itu, nanti Nola bicara aja langsung sama Papa."
Kinan patut memberi applause untuk dirinya sendiri karena tetap mampu menjawab pertanyaan Nola dengan tenang meskipun pikirannya sendiri dipenuhi banyak pertanyaan tentang motif di balik tindakan Yudistira.
"Nola udah dapat foto yang Nola mau kan? Sekarang kita beresin album ini. Lalu Nola kembalikan ke kamar Papa," pinta Kinan dan syukurlah Nola menurutinya.
Setidaknya Kinan masih punya waktu sampai Yudis tiba di rumah untuk menyiapkan amunisi. Jika dulu ia pernah nekat meminta Yudis menjadikannya istri, sekarang pun Kinan masih punya keberanian yang sama. Kinan akan mencecar Yudis sampai pria itu berterus terang tentang benang merah yang menghubungkan Syifa dengan dirinya.
***
Yudis tahu ada yang aneh dengan gelagat Kinan. Yang tidak ia ketahui adalah penyebabnya.
Gadis itu lebih banyak diam dan tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. Selain itu, bukan sekali dua kali saja, Yudis mendapati Kinan menatapnya dengan sorot menyelidik, seolah Yudis telah melakukan kejahatan. Kinan juga tidak segera pamit selepas makan malam usai dan malah menyempatkan diri membuatkan puding cokelat untuk disimpan di kulkas.
Ketika Yudis masuk ke kamar Nola, hendak mengecek kondisi anak itu dan mengecup keningnya sebelum tidur, barulah Yudis bisa menebak apa yang terjadi.
Foto Syifa yang tergeletak di atas bantal di samping bantal Nola adalah petunjuk utama. Foto itu tersimpan rapi di dalam pigura. Tentu tidak mungkin Nola yang melakukannya, mengingat sebelah tangan anak itu sedang cedera. Dan jika bukan Nola, pasti Kinan yang melakukannya.
Yang artinya, Kinan sudah melihat foto-foto Syifa yang lain.
Yang artinya, rahasia Yudis sudah terbongkar.
Setelah Nola terlelap, Yudis berjalan berjingkat keluar dari kamar anak itu lalu menutup pintu. Entah bagaimana ia tidak terkejut saat menemukan Kinan duduk di kursi makan dengan punggung tegak.
Yudis menarik napas panjang, sadar bahwa ia tidak bisa mengelak dari apa yang akan terjadi.
"Mas—" Suara Kinan bernada protes, saat Yudis justru berbelok ke dapur, alih-alih menghampirinya.
"Sebentar, Kin. Aku butuh kopi untuk menjawab apa pun yang akan kamu tanyakan. Karena ini akan jadi penjelasan yang panjang," sahut Yudis sambil mengambil sebungkus kopi instan dari kitchen set kemudian menyeduhnya.
Yudis membawa dua cangkir kopi ke meja makan. Satu cangkir, ia sodorkan ke hadapan Kinan. "Punyamu sudah aku beri krimer," beritahu Yudis.
Kinan menerima kopinya disertai anggukan. Ia ikut menyesap minuman tersebut saat Yudis juga melakukannya.
"Kamu sudah boleh tanya sekarang," kata Yudis memulai.
"Mas akan jawab dengan jujur?" Kinan membutuhkan jaminan.
"Ya."
Kinan meneguk kopinya lagi, puas dengan janji Yudis. Ia meletakkan cangkir lalu menjilat bibir, berusaha meredakan kegugupan yang membelit.
"Tadi Nola ambil album foto mamanya dari kamar Mas Yudis. Kinan sudah berusaha melarang, tapi Nola nggak menghiraukan karena dia kepengin banget tidur sambil peluk foto mamanya." Kinan berhenti sejenak. "Lalu Kinan lihat foto Mbak Syifa dan—"
"Dan kamu berpikir wajah kalian mirip?" potong Yudis.
"Di beberapa foto. Memang nggak semuanya," lanjut Kinan. "Mas Yudis bisa jelaskan? Kenapa wajah Mbak Syifa mirip Kinan, Mas? Ini nggak mungkin kebetulan kan?"
Yudis diam dan mendongak, menatap langit-langit sejenak, lalu memandang Kinan, tepat di kedua matanya.
"Ini memang kebetulan. Kebetulan yang kupikir bisa menyelamatkanku."
"Maksudnya?"
"Syifa itu rekan kerjaku waktu aku masih kerja di Surabaya. Aku ketemu dia di saat aku nyaris putus asa. Dan kebetulan, Syifa menaruh hati padaku."
Kinan menggeleng. Penjelasan Yudis sama sekali tidak mengurai benang kusut. "Kinan masih nggak ngerti. Mas Yudis putus asa karena apa?"
Yudis masih menatap Kinan lekat-lekat. "Apa kamu nggak bisa menebaknya, Kin?
Aku putus asa karena nggak tahu cara menghentikan diriku sendiri yang jatuh cinta pada gadis kecil tetangga sebelah rumah."
---------------
Jederrr! Akhirnya Yudis ngaku, gengs.
Sori, babnya pendek. Masih dalam mode sangat sibuk. Dan sekali lagi mau bilang makasih karena kalian masih setia sama cerita ini.
With love,
Kris
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tak Terganti
RomanceDemi mewujudkan impiannya menjadi chef, Kinanti pergi ke Jakarta dan tinggal bersama tetangga sebelah rumah yang ia cintai sejak remaja, Yudistira. Saat Kinan pikir ia tinggal selangkah lagi dari impiannya, ternyata semuanya perlahan-lahan runtuh d...