Bab ini pendek aja ya. Yang penting bisa buat tombo kangen. Happy reading.
-------
"Selamat pagi, Mas."
Yudis baru selesai lari pagi dengan rute yang tidak jauh, hanya di sekitar kompleks perumahannya dan sedang melakukan pendingan, ketika Albi muncul di balik pagar pekarangan sempit rumah Yudis.
"Oh, kamu." Yudis tidak membalas sapaan Albi. Diliriknya penampilan Albi. Celana parasut selutut, kaus oblong merah bergambar logo Arsenal, lalu sepatu olah raga. "Mau apa pagi-pagi ke sini? Kinan udah sarapan."
"Mau ngajak Kinan ke CFD, Mas. Udah janjian kemarin."
"CFD di mana? Memangnya kamu tahu jalan?"
"Lumayan, Mas. Udah sering muter-muter Jakarta kalau pulang kantor. Lagian, sekarang kan ada Maps, Mas. Sesekali, ngajak Kinan jalan-jalan nggak apa-apa kan, Mas? Takut Kinan bosen, cuma di rumah dan ke RCA saja kegiatannya."
Apa pemuda bau kencur ini sedang menyindir Yudis karena tidak pernah mengajak Kinan rekreasi selama di Jakarta? Apa Albi lupa kalau Kinan itu sempat cedera selama satu bulan? Bagaimana bisa Kinan jalan-jalan dengan kaki ditopang kruk? Tampang Yudis seketika tertekuk.
"CFD kan masih dilakukan secara terbatas. Masih rawan kalau berkerumun. Kalian ngobrol aja di sini, beli cemilan di Alfamart." Dengan dagunya, Yudis menunjuk ke teras rumah.
Tanpa sadar tangan Albi mengepal, tanda sang pemilik tubuh sedang menahan dongkol. Apa enaknya pacaran di teras rumah Yudis sambil ngemil Chiki?
"Pengin ganti suasana, Mas," tolak Albi dengan sopan.
Sejurus kemudian, Kinan muncul di pintu depan dengan kaus putih longgar lengan panjang berbahan nyaman, sweatpants hijau toska, dan sepatu kets putih. Rambut panjangnya diikat di tengkuk. Penampilan gadis itu pas untuk hang out di tempat Car Free Day.
"Kita berangkat sekarang, Bi?" tanya Kinan dengan nada gembira yang tidak ia sembunyikan.
Albi mengulas senyum tak ikhlas yang mirip seperti garis lurus. Dengan gerakan bola mata yang diarahkan ke tempat Yudis berdiri, ia memberi kode pada Kinan.
Kinan mengangguk. Ia paham maksud gestur Albi. "Mas, Kinan pergi ya," pamitnya. "Nggak lama, kok."
Yudis mendengkus kasar. "Maksimal satu setengah jam dan jangan ke CFD." Nada kalimat Yudis final, tidak bisa diganggu gugat.
Akhirnya, Albi mengajak Kinan ke sebuah warung soto Semarang, masih di sekitar kawasan Kalideres. Wajah pemuda itu muram, merefleksikan suasana hatinya yang berubah buruk.
"Bi, kata kamu kita pergi supaya aku nggak bete di rumah melulu, tapi sekarang kamu malah nekuk wajah terus."
"Gimana aku nggak bete, Kin? Aku tuh mau ngajak kamu jalan ke tempat-tempat yang nggak ada di Lumajang. Kalau cuma warung soto, di sebelah SMK-mu dulu juga ada. Kita udah sering makan soto."
Kinan menarik napas panjang mendengar gerutuan Albi. Sabar, sabar. "Mau gimana lagi? Mas Yudis nggak kasih izin kita CFD-an. Tapi alasan Mas Yudis masuk akal, sih. Kan masih pandemi."
Albi meletakkan sendok dengan sedikit menyentak. Ia bertambah kesal karena Kinan membela Yudis. Disambarnya setusuk sate kerang yang langsung dilahap. Setelahnya, tangannya menggapai sebungkus kerupuk rambak sapi dan dikunyah dengan berisik. Bete ternyata bikin lapar.
"Kamu kapan pindah ke kosan, sih, Kin?"
Sekarang ini, seingat Kinan, tidak ada hari dilewatkan Albi tanpa mengeluh tentang situasi Kinan yang masih tinggal di rumah Yudistira. Tempo hari, Albi pun mengutarakan kekesalannya lantaran masalah yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tak Terganti
RomanceDemi mewujudkan impiannya menjadi chef, Kinanti pergi ke Jakarta dan tinggal bersama tetangga sebelah rumah yang ia cintai sejak remaja, Yudistira. Saat Kinan pikir ia tinggal selangkah lagi dari impiannya, ternyata semuanya perlahan-lahan runtuh d...