Bab 37

12.7K 1.8K 183
                                    

"Kamu emang sengaja banget bikin aku marah ya?"

Kinan tak menggubris tudingan Albi dan hanya memandang sekilas pada cowok itu, lalu meneruskan langkahnya. "Aku cuma menjawab dengan jujur, Bi. Apa kamu lebih suka kalau aku berbohong?" Kinan merogoh tas dan mengaduk-aduk isinya, mencari kunci kamar. Setelah benda itu didapatkannya, ia meminta Albi bergeser. "Minggir. Aku mau buka pintu."

Albi menepi dari pintu sembari mendengkus kasar. "Ngapain kamu ke rumah Mas Yudis?" tanyanya.

"Nengokin Nola," jawab Kinan setelah melangkah masuk ke kamar. Sepatu disimpan di rak dan tas selempang digantungkan ke kapstok. Kinan melepas masker dan menyemprotkan hand sanitizer. Albi mengikutinya masuk ke dalam kamar lalu melepas masker dan menyemprotkan hand sanitizer juga.

"Dari rumah Mas Yudis, masih pakai baju kemarin." Nada suara Albi terdengar sangat sinis.  "Kamu kayak cewek habis ML semalaman di tempat cowok, dan baru balik pagi harinya!"

Doing walk of shame! Kinan pernah mempelajari istilah itu dari salah satu film western yang ia tonton. Kinan melempar tatapan sengit pada Albi. Kali ini tudingan cowok itu sudah keterlaluan.

"Jaga mulutmu, Bi," ketus Kinan. Dadanya mulai panas karena amarah yang mulai bangkit. Padahal, awalnya Kinan pikir mereka bisa berbicara dengan kepala dingin hari ini.

"Kamu tu emang nggak menghargai aku ya, Kin?" Albi bahkan tidak mau repot-repot duduk. Pemuda itu langsung menyemprot Kinan dengan kata-kata pedasnya. "Aku ini cowokmu. Aku bela-belain magang jauh-jauh ke Jakarta supaya kita bisa ketemuan. Aku bahkan berpikir untuk cari kerja di kota ini, kalau kamu berniat kerja di sini juga. Tapi apa balasanmu, Kin?"

Kinan berkacak pinggang. "Dengar, Bi. Kamu nggak usah ngomong panjang lebar tentang sikap saling menghargai. Kenapa? Karena kamu juga nggak bisa menghargai aku!" Tangan kanan Kinan menunjuk ke arah tempat sampah, di mana hadiah yang sejatinya akan diberikan pada Albi, masih teronggok di dalamnya karena dibuang oleh cowok itu. "Lihat itu! Kamu bahkan membuang hadiah yang sudah susah payah aku belikan!"

Bukannya menyadari kesalahannya, Albi justru kembali menyalahkan Kinan.  "Aku nggak minta hadiah itu. Kamu tahu persis hadiah apa yang aku mau!"

Itu lagi, itu lagi. Kinan baru tahu ternyata Albi tipe pemuda bebal. Alih-alih, mencari titik temu agar keinginan mereka sama-sama terakomodasi, Albi lebih suka keinginannya didahulukan.

"Kalau gitu, sama aja. Aku juga nggak pernah minta kamu nyusulin aku ke Jakarta!" balas Kinan sengit yang sukses membuat Albi menerjang maju dan hampir melayangkan telapak tangannya di pipi Kinan.

Jantung Kinan berdentum keras. Ia sudah memejamkan mata karena berpikir Albi akan menamparnya. Beruntung, pemuda itu berhenti di detik terakhir.

Kinan membuka mata perlahan. Tampak Albi sedang mengatur napas yang tersengal-sengal.

"Harusnya kamu sejak awal nggak usah sok-sokan ikut kelas professional chef segala. Kamu jadi belagu. Ngerasa hebat."

Merasa impiannya direndahkan, Kinan pun tak terima dan membalas dengan berapi-api. "Iya, harusnya aku jadi pelayan aja di toko roti Mbak Aruna. Supaya selamanya kita nggak pernah setara. Supaya aku selalu merasa beruntung karena ada anak orang kaya seperti kamu yang mau sama aku. Aku yang cuma anak janda, anak guru honorer, yang yatim nggak punya bapak, yang bukan siapa-siapa.  Supaya kamu bisa memanipulasi rasa inferiorku. Gitu kan maumu?"

Albi tidak menjawab. Kinan mendekap dirinya sendiri lalu memutar badan, memunggungi Albi. "Hubungan kita udah kacau, Bi," lirihnya.

"Jangan kamu pikir aku mau putus gitu aja," sergah Albi.

Cinta Tak TergantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang