28. Dusk

1.6K 195 9
                                    

Waktu senja kali ini tidak tampak begitu indah dibandingkan hari biasanya. Langit sedang ditutupi dengan awan tebal yang membuat suasana menjadi lebih gelap. Di tempat yang tak terjangkau terdengar suara guntur menandakan bahwa hujan akan turun sebentar lagi. Sore ini terasa semakin sempurna untuk menikmati kesendirian di temani dengan kesedihan dan juga air mata sebagai pelengkapnya. Kelihatannya alam pun mendukung Jisoo untuk menikmati kesedihannya dengan memberikan suasana yang sangat pas ini.

Gadis tersulung Hwang itu duduk di sebuah bangku di tepi sungai Han. Dia duduk dengan memeluk kedua lututnya, menatap air sungai yang begitu tenang di hadapannya. Sesekali dia menarik ingus yang menghalangi pernafasannya. Jisoo sudah berada di sana cukup lama tapi dia sama sekali tidak berniat untuk meninggalkan tempat itu. Suara petir yang menyambar seakan tak terdengar oleh indra pendengarnya. Masih ada hal lain yang lebih ia takutkan daripada hanya sekedar petir yang menyambar.

Disaat semua orang berlarian mencari tempat perlindungan dari hujan yang tiba-tiba turun, gadis bersweater turtleneck hitam dengan balutan jas berwarna senada itu sama sekali tak bergeming dari tempatnya. Jisoo semakin memeluk erat lututnya di kala rasa dingin mulai menusuk hingga ke tulangnya. Bibirnya bergetar menandakan bahwa dia benar-benar kedinginan saat ini. Air matanya yang terus mengalir kini bercampur dengan air hujan yang turut membasahi wajahnya.

Meski sudah begitu, dia sama sekali tidak ingin meninggalkan tempat itu. Jisoo harap pikirannya menjadi dingin dan jernih seiring dengan air hujan yang menuruni tubuhnya. Pikiran Jisoo melayang pada hal lain, tiba-tiba saja dia teringat pada ayahnya. Bukankah Jisoo ini seorang anak yang tidak berbakti? Dia sampai lupa kalau ayahnya sedang di penjara dan Jisoo tidak melakukan usaha apapun untuk membantunya.

"Ayo pulang. Tidak ada gunanya menyakiti dirimu sendiri seperti ini." Jisoo membuang mukanya mendengar suara yang sangat familiar itu. Dia tidak tau bahwa gadis yang memayunginya kini sedang berusaha keras untuk menahan air matanya. Pemandangan di hadapannya saat ini sungguh menyakiti hati gadis mandu itu. "Jisoo-ya baiklah.. lakukan sesukamu. Lakukan apapun yang baik menurutmu. Jangan membuang waktu dengan membuat kenangan menyedihkan seperti ini. Ayo kita buat kenangan indah bersama, buatlah sebanyak mungkin untuk menebus semua air matamu selama ini. Buatlah bersamaku selagi masih bisa-"

"Jennie!! Hentikan! Jangan bahas tentang kematian. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Jika pun kematian itu akan terjadi kita akan melaluinya bersama. Itu adalah janjiku."

Jennie tersenyum getir. Dia membelai pelan rambut basah kakaknya. "Unnie kau tidak bisa dan tidak berhak membuat janji seperti itu."

"Aku bisa dan berhak melakukannya. Selama aku masih bernafas kau pun akan melakukan hal yang sama begitupun sebaliknya." Jisoo mendongak menatap Jennie dengan tatapan yang tajam lalu melembut. Dia menatap lamat-lamat wajah mungil yang dihiasi senyum gummy bear khas milik adiknya itu. Tapi bukan itu yang Jisoo perhatikan. "K-kau baik-baik saja?" Jisoo segera bangkit dari duduknya. Dengan tangan gemetarnya dia menyentuh wajah Jennie yang terlihat pucat. Jennie memejamkan matanya terkejut saat telapak tangan Jisoo yang terasa dingin menempel pada pipi mandunya. Namun dia kembali tersenyum setelahnya.

"Tidak apa-apa. Ini sudah biasa terjadi." Tepat setelah mengatakan itu payung dalam genggamannya terjatuh seiring dengan tubuhnya yang luruh ke tanah basah di bawahnya. Jennie jatuh terduduk karena rasa sakit yang perlahan menyerang perut bagian pinggangnya.

"Jennie-ya!" Jisoo turut terduduk di sana. Dia mengusap matanya yang memburam karena air mata yang telah memenuhi kelopaknya. Untuk sesaat dia merasa bingung atas apa yang akan dan harus dilakukannya. Mendengar rintihan ditambah wajah Jennie yang terlihat kesakitan membuat otaknya seakan berhenti bekerja. "Kita ke rumah sakit sekarang.. ayo pelan-pelan." Jisoo memapahnya menuju mobil Jennie yang terparkir agak sedikit jauh dari sana. Jennie tidak mampu melawan atau mengatakan apapun. Dia memejamkan mata dan mengeratkan rahangnya menahan sakit. Rasa sakit ini terasa lebih menyakitkan dari sebelumnya. Ada satu masalah.

Twins ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang