13.6

5 2 4
                                    


Image Change

BAB 13 : Mereka Tahu Dari Awal

Bagian 6

MyoueMoo

--------------------------------------------------

Setelah membahas soal perjanjian kami yang akan berakhir beberapa hari sebelumnya, Asiana ingin pergi ke Kota Tua sebagai permintaan terakhirnya. Jelas aku keberatan, dan menolaknya karena aku pikir itu sudah melewati batas perjanjian kami. Lagi pula, aku sudah melakukan tugasku sesuai perjanjian selama lebih dari sebulan jika dihitung dari awal aku menjemputnya.

Tapi, begitu Asiana memsang senyum menantang padaku yang seakan berkata "Oh, berani menolak, ya? Kau ingin merasakan tinjuku kah?". Mulutku langsung terdiam, dan dengan seketika aku mengiyakan keinginan Asiana. Kampret!

Dan karena itu, sekarang, pukul tujuh pagi di hari minggu aku sudah ada di stasiun. Aku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya aku lakukan? Aku membayangkan bagaimana enaknya jika sekarang aku ada di rumah, di atas kasur yang empuk sambil mencoba untuk tidur lagi.

Selagi aku membayangkan hal bodoh, aku melihat mobil hitam yang kukenal berhenti di parkiran. Tidak lama kemudian, Asiana yang mengenakan kaus putih, rok hitam selutut, dan kardigan rajut berwarna merah muda sebagai pelengkapnya turun dari mobil.

Kalau dilihat dari penampilan, tidak ada yang salah, Asiana tentu saja menarik dan sangat feminim. Terlebih dengan bagaimana dia memasukan kausnya ke dalam roknya hingga membuat lekukan tubuhnya semakin terlihat.

"Bravo!!!", teriakku dalam batin.

Namun, aku tidak ingin lupa, kalau cewek feminim inilah yang bisa mengintimidasiku hingga aku berada di sini sekarang.

Kau ingin tahu pakaianku? Aku hanya memakai celana jin selutut, kaus putih –kami tidak janjian sebelumnya, dan sebuah topi. Simpel, tapi aku yakin sangat cocok denganku. Ye, kan? So pasti!

Asiana yang sudah turun dari mobil mengetik sesuatu di handphonenya, sebelum akhirnya aku mendapatkan pesan "Aku sudah di parkiran. Kamu di mana, Rey?".

Aku melepas topiku agar lebih mudah dikenali, dan menghampiri Asiana tanpa membalas pesannya. Melihatku, Asiana melambaikan tangannya. Aku berlari kecil untuk mempercepat langkahku.

"Pagi om," sapaku ke ayah Asiana yang masih di kursi kemudinya.

Ayah Asiana tidak keluar atau membuka kaca jendela, dia nampaknya diperintah putri kesayangannya untuk tidak turun. Dan oleh karena itu, aku bisa melihat kekesalan dari senyum yang dia lontarkan untukku. Serem, serem!

Tanpa menyuarakan apa yang ingin dia katakan, Asiana memelototi ayahnya, dan kemudian membuang wajahnya ke arah lain berulang kali. Ya, dia mengusir ayahnya.

Ayah Asiana yang diberikan hal semacam itu tampak sedih, dan tidak terima. Namun, dia juga tidak bisa melawan keinginan Asiana, hingga akhirnya dia pun pergi dengan wajah murungnya.

Ayah Asiana yang malang.

"Akhirnya pergi juga!" gerutu Asiana begitu ayahnya pergi.

"Kenapa sih?"

"Nggak tau tuh! Dari kemarin udah dibilangin aku bakal pergi naik kereta, tapi Pap— Ayah maksa buat anter pake mobil. Ngeselin banget, kan?"

Bentar, tadi Asiana mau bilang ayahnya dengan sebutan Papa, kan? Terus dia ralat dengan ayah. Lucunya!

"Ahahaha..." aku tertawa sambil menggaruk kepala seperti orang tolol.

Aku paham apa yang ayah Asiana khawatirkan. Misal Sophia jalan dengan orang sepertiku— orang yang tidak jelas juntrungannya, aku pasti akan khawatir. Jadi ya, aku tidak bisa menyalahkan ayah Asiana.

"Ayahmu cuma khawatir, Na. Jadi aku harap jangan bersikap seperti tadi lagi, kasihan Ayahmu."

Asiana tampak tidak mau mendengarkannya, dan berjalan begitu saja.

Setelah membeli tiket, kami menunggu kereta lumayan lama karena terjadi keterlambatan. Dan ya, aku tidak heran dengan hal semacam itu. Ini Indonesia, tidak ada hal yang benar-benar sesuai jadwal, kan? HAHA!

Di dalam kereta, meskipun hari minggu, aku melihat banyak orang yang sepertinya berangkat kerja. Kenapa aku bisa tahu? Itu karena mereka memakai seragam kerjanya.

Stasiun demi stasiun dilewati, gerbong yang aku tempati mulai ramai. Orang-orang pun sudah ada yang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Sampai akhirnya ada seorang ibu masuk bersama bocah yang umurnya sekitar 3 sampai 5 tahun berdiri di depanku. Bocah yang dituntun ibunya menatapku dengan tampang polosnya, dan entah kenapa, aku merasa tidak nyaman sekaligus bersalah. Kampret!

Aku membuang napas, dan berdiri.

"Mbak, duduk aja," ucapku menawarkan tempatku.

"Eh? Ga apa-apa, Adek aja yang duduk," tolak si ibu.

Tapi berhubung aku sudah berdiri... "Nggak, ibu aja yang duduk. Kasihan anaknya berdiri," kataku sambil memberikan senyuman terbaikku. Aku harap senyumanku tidak terlihat menjijikan.

Si ibu tampak bingung. Aku yakin dia sungkan akan tawaranku, tapi dia juga memikirkan anaknya yang akan berdiri selama perjalanan.

Setelah berpikir beberapa saat, "Ya sudah deh kalo gitu, makasih ya Dek," kata si ibu saat duduk dan memanggku anaknya.

Begitu aku selesai dengan si ibu, Asiana menendang-nendang pelan kakiku.

"Kenapa?" tanyaku.

"Enggak, enggak apa-apa kok," jawabnya dengan senyum jahil yang terlihat sangat menjengkelkan.

"Cih..."

Setelah berdiri untuk beberapa stasiun, akhirnya kami sampai di stasiun yang kami tuju. Dari sini, kami harus berjalan sejauh 200 meter untuk sampai ke Kota Tua atau Taman Fatahillah. Untung saja sekarang masih pagi, jadi matahari belum terlalu panas, meskipun aku yakin ini sudah sepanas siang bolong di Bekasi.

Jakarta benar-benar seperti neraka panasnya!

Dari kejauhan, aku bisa melihat bangunan tua nan antik namun kokoh. Nuansa tempo dulu dari tiap bangunan seperti membawaku ke dunia yang berbeda.

"Rey, cepetan!" ucap Asiana sambil menarik tanganku seperti bocah yang sudah tidak sabar untuk masuk ke taman bermain. Sikap Asiana sangat lucu.

Awalnya, aku pikir tempat ini hanya jalan yang dipenuhi bangunan tua saja, tapi sepertinya aku salah. Di tengah Kota Tua ada minimarket, kantor pos, dan berbagai macam lainnya. Tentu saja mereka memakai tema tempo dulu menyesuaikan dengan tema tempat ini. Jadi, sejauh mata memandang, aku seperti berada di tahun 80 sampai 90an.

"Aku udah sering denger soal Kota Tua, tapi aku tidak menyangka akan seunik ini tempatnya," gumamku selagi melihat pemandangan sekitar.

"Mumpung masih sepi, gimana kalau kita foto-foto dulu sebelum masuk museum?"

Sebelum Asiana menarikku lagi, aku menahannya. "Kita beli minum dulu, bahaya kalo dehidrasi," ujarku.

"Ah, um, kau bilang begitu aku jadi haus."

"Hampir dua jam kita di kereta nggak minum, terus jalan kaki lumayan jauh dari stasiun. Wajar aja kalau haus. Tunggu sini, aku beli minum dulu," kataku saat pergi ke minimarket.

Begitu aku kembali dari minimarket, dari kejauhan aku melihat Asiana memegangi dadanya— bukan memgang dalam konteks yang aneh. Aku hanya ingin memperjelasnya, jadi jangan berpikir yang aneh-aneh. Mengerti?!

Melihat itu, aku mempercepat langkahku. "Na, kamu ga apa-apa?" tanyaku karena Asiana terlihat kesakitan.

"A-a-aku ga apa-apa kok!" sangkal Asiana sambil mengibaskan tangannya, tapi wajahnya terlihat sangat merah.

"Seriusan ga apa-apa? Kita bisa cari tempat adem dulu buat istirahat," ucapku takut Asiana kepanasan. Memang sekarang masih pagi, tapi suhunya cukup panas. "Oh iya, minum dulu nih," lanjutku sambil menyodorkan Pokari padanya.

"Aku bilang aku ga apa-apa. Daripada itu, ayo kita foto-foto sebelum ramai!"

Mengalah, aku membiarkan diriku ditarik ke sana kemari untuk berfoto sebelum akhirnya kami masuk ke museum. Lagi pula, aku pergi ke sini karena keinginan Asiana, asal dia senang, aku tidak masalah.

Image Change [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang