15.4

12 2 0
                                    

Image Change

BAB 15 : Dies Natalis

Bagian 4

MyoueMoo

--------------------------------------------------

Sejak dibukanya gerbang sekolah bersamaan dengan dimulainya acara Dies Natalis, pengunjung terus berdatangan. Stan tiap kelas dipenuhi antrean, dan tentu saja kegaduhan di mana-mana. Belum lagi acara utama yang ada di lapangan, sorak-sorai dari sana terdengar sampai sini—parkiran.

Dengan ban panitia yang menempel di lengan, aku menjalankan tugasku sebagai sie dokumentasi. Aku mengambil foto apa saja yang menurutku menarik. Yah, lagian aku juga nggak tau apa yang perlu diambil untuk laporan. Jadi aku akan mengambil sebanyak yang aku bisa, dan memilahnya nanti.

Dan sejak tadi handphoneku yang ada di kantong terus bergetar, grup chat panitia Dies Natalis tak henti-hentinya bertukar informasi. Terutama untuk orang yang bertugas mengatur jalannya acara utama yang ada di lapangan, mereka sepertinya sangat kerepotan.

Yah, aku juga ga boleh males-malesan. Aku melihat sekeliling melalui kamera, lalu melihat Bu Melati dikejauhan melambaikan tangannya.

Apa dia melambaikannya padaku?

Memastikannya, aku melepaskan pandanganku dari kamera, dan melihatnya secara langsung. Dan sepertinya itu memang ditunjukan untukku.

"Ada apa, Ma'am?"

"Aku udah denger loh soal tadi." Soal tadi? "Pasti kamu kaget ya, dateng-dateng ada orang yang ngomong kaya gitu." Ah, ini soal Ibunya Leisha? "Kakakku minta tolong buat temuin sama kamu lagi, Rey. Kamu mau, kan?"

"Err... Jujur aja, aku ga tau Ma'am. Misal ketemu juga, nggak ada yang bisa aku omongin."

"Apa bener begitu?" nada Bu Melati terdengar sarkastik.

"Emangnya apa yang bisa aku omongin Ma'am? Ibunya Leisha udah ngasih tau alesan kenapa dia bersikap begitu ke Leisha. Jujur, aku kesal. Tapi lebih dari itu, alesannya sangat masuk akal. Aku nggak bisa ngebantahnya, Ma'am."

Bu Melati menggerakkan dagunya seakan memintaku untuk mengikutinya. "Masuk akal, ya? Memangnya masuk akal sudah pasti benar, Rey?"

"Ya nggak tau, tapi seenggaknya Ibunya Leisha punya alasan yang solid dalam tindakannya Ma'am."

"Ya, mungkin, tapi jawabannya tidak. Terkadang hal yang benar bukanlah sesuatu yang terlihat jelas dan memiliki alasan, terkadang perasaan juga menjadi hal yang benar meski tak masuk akal."

"Ahaha..." tawa yang terdengar sangat bodoh. "Sangat puitis, Ma'am. Tapi tanpa alasan, aku tetep ga bisa ngelawan Ibunya Leisha."

Bu Melati merangkulku sembari menyunggingkan senyum yang tampak begitu licik. "Itu yang salah denagnmu, Rey. Kamu tidak perlu melawannya, kamu hanya perlu membelokannya saja."

"Membelokannya?"

"Kalau Kakakku percaya apa yang dia lakukan benar, maka kamu buktikan ada cara yang lebih baik dari itu. Buat dia ragu, berpikir ulang, lalu berpaling ke cara yang kamu inginkan. Terlebih lagi, Kakakku sudah cerita soal Leisha yang membelamu, dan Leisha yang menderita karena ambisinya." Bu Melati mengepalkan tangannya. "Ini lah yang aku tunggu! Selama ini aku tak bisa merubah keyakinan Kakakku karena tak ada hal yang bisa menjadi trigger, namun sekarang ada kesempatan Rey."

Aku paham apa yang Bu Melati maksud, dan apa ingin dia lakukan.

"Tapi nggak akan segampang itu Ma'am. Misal aku ngomong apa yang aku mau juga, apa Ibunya Leisha akan mendengarkanku—Orang asing yang tak tau juntrungannya?"

Ini pasti sulit. Belum lagi umur, Ibunya Leisha pasti akan meremehkanku. Omongan dari bocah bau kencur tak akan didengarkan orang dewasa, dan itu sudah menjadi rahasia umum.

"Kalau cuma kamu yang bilang, mungkin akan begitu akhirnya."

"Ah... Jadi begitu... Aku paham sekarang."

"Yah, Kakakku tak bisa protes. Dia yang meminta tolong padaku buat mempertemukannya denganmu, jadi kalau aku ikut juga ga masalah, kan?" Senyum lebar dan penuh percaya diri, Bu Melati seakan memastikan kemenangannya.

"Buat seorang guru, Ma'am licik banget, ya?"

"Haha! Setidaknya bilang aku cerdik!" ucap Bu Melati saat menepuk? Bukan, memukul punggungku "Dengan begini, semoga hubungan kedua orang itu sedikit lebih baik."

"Mmhm. Jadi kapan kita ketemu Ibunya Leisha, Ma'am?"

Bu Melati mengangkat bahu mengungkapkan ketidaktahuannya. "Kakakku orang sibuk, nanti aku tanya kapan dia ada waktu kosong. Selain itu, kita harus menyusun rencana Rey. Buat sekarang, fokus saja dengan Dies Natalis. Nikmatilah masa mudamu."

Setelah memmberikan tepukan hangat? Bukan, pukulan di punggungku Bu Melati pun pergi.

Kalau diingat-ingat, aku merubah bentuk tubuhku karena ingin menikmati masa muda. Banyak hal yang terjadi, mulai dari Aida yang membuat reputasiku hancur. Sikap pengecutku yang tak bisa mengambil keputusan dalam hubungan Asiana. Hingga akhirnya sekarang, aku bisa jujur dengan perasaanku sendiri.

Belum setahun, tapi sudah penuh dengan kenangan. Sangat berbeda dengan waktu SMP dulu, hari yang membosankan, tak ada apa pun yang terjadi. Saat sadar, aku sudah lulus saja.

Handphoneku berdering, ada panggilan dari Sophia. Itu artinya dia sudah sampai di sini. Tanpa mengangkat panggilannya, aku pergi ke gerbang. Di kejauhan, aku bisa melihat Febi melambaikan tangannya. Bener-bener bocah yang enerjik.

"Kak Rey, kami bawa Phiphi kaya janji kita!" seru Febi sembari menawarkan tos, dan tentu saja aku balas.

"Mmhm, makasih udah bawa Sophia ke sini," kataku sembari mengacungkan jempol. "Oh iya, ambil pamflet dulu sana, kalo ada yang mau kalian liat nanti aku ajak ke sana."

Setelah mengambil edaran pamflet, Trio Bocil tampak membicarakan lokasi stan makanan. Mereka sepertinya tak sabar buat mencoba makanan dari semua kelas. Ini idenya Leisha, dia yang membuat tiap kelas tidak boleh menjual makanan yang sama, dan sekarang itu menjadi daya tarik untuk para pengunjung.

Selain itu, acara utama yang ada di lapangan juga tak kalah meriah. Apalagi pembawa acaranya si tampan Favian, para cewek pasti betah nontonnya.

"Ayo kita keliling, stan mana yang mau kalian coba duluan?"

Image Change [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang