1.3

38 4 0
                                    

Image Change

BAB 1 : Rey Razak Menikmati Kehidupan Barunya

Bagian 3

MyoueMoo

--------------------------------------------------

Bel yang menandakan jam pelajaran keempat berakhir berbunyi.

"Kalau begitu kita lanjutkan dipertemuan selanjutnya." Setelah mengatakan itu, guru yang mengajar keluar dari kelas.

Kelas yang sebelumnya kondusif mulai gaduh. Perasaan lega memancar dari seluruh penjuru kelas. Ada yang mengobrol dengan teman, mengambil kotak bekal yang mereka taruh di tas, dan sisanya pergi ke kantin. Dan aku, bersama tiga begundal termasuk orang yang pergi ke kantin.

Gedung SMAN 1 Sukatani membuat bentuk persegi dengan lapangan di tengahnya. Di area depan ada parkiran dengan pohon mangga yang membuatnya terlihat begitu rimbun dan sejuk, karena itu sekolah ini mendapatkan julukan KEMANG, alias kebun mangga.

Selain itu, lapangan yang biasa digunakan untuk upacara juga digunakan untuk kegiatan ekstrakurikuler lengkap dengan fasilitasnya seperti tiang keranjang basket, tebing buatan setinggi 10 meter? Mungkin, aku tidak pernah mengukurnya, yang pasti cukup tinggi. Gawang portabel, jaring dan tiang untuk bermain voli, tenis, bulu tangkis dan masih banyak peralatan yang tidak kusebutkan.

Kelasku berada di wilayah kanan, dan kantin berada di wilayah kiri, jadi jarak ke kantin cukup jauh dari kelasku. Tapi itu tidak apa-apa, yang menjengkelkan di sini itu kelasku juga jauh dari toilet. Meski aku tidak ke toilet setiap saat, setidaknya itu membuatku enggan dan ingin ngompol di celana kalau sudah kebelet. Sial!

"Oh iya, apa lu tau cewek cakep yang ada di kelas bilingual?" tanya Andika saat kita sudah dekat dengan kelas para elite itu.

Kelas bilingual baru diadakan tahun ini, jadi Andika pasti menanyakan tentang Leisha. Terlebih kelas bilingual hanya ada satu kelas saja, kalau ada siswi yang melebihi kecantikan Leisha, pasti tidak lain adalah seorang dewi.

Favian mengangkat bahu. "Memangnya kenapa?"

"Enggak, nanya aja. Katanya dia kaya boneka."

Ya, penjelasan sederhana itu tidak salah. Leisha memang terlihat seperti boneka kalau diam, tapi kalau sudah membuka mulutnya kau pasti akan kecewa dengan sikap judesnya.

"Lu ga tertarik buat pacarin dia?"

"Sebenarnya aku ini apa di matamu Dik? Playboy?" Favian terdengar tidak senang dengan pertanyaan Andika.

Tidak memedulikan tatapan kesal Favian, Andika berlari kecil dan berdiri di depan pintu kelas bilingual. Dia menyapu pandang dari sudut ke sudut. Murid kelas bilingual terlihat kebingungan dengan kelakuan Andika, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang berani menegurnya.

Begitu sampai di depan kelas bilingual, mataku otomatis langsung melihat ke arahnya. Cewek berambut hitam sebahu dengan kacamata di hidungnya yang tidak terlalu mancung, kulit seputih susu, dan bibir merah mudanya yang tipis. Dia sedang duduk dengan anggun sambil membaca sebuah buku.

Menyadari keanehan suasana kelas, Leisha meletakkan pembatas dan menutup bukunya. Leisha melebarkan mata saat mata kita bertemu, lalu dia membuang wajahnya. Mau bagaimana lagi? Setelah kejadian tadi pagi sudah pasti akan seperti ini. Leisha pasti kesal. Tidak, kesal hanya dilakukan oleh orang yang sudah dekat. Muak, Leisha pasti muak denganku yang sudah sok akrab dan congkak karena menganggap kedudukan kita sama. Harusnya aku sudah menyadari ini dari dulu, Leisha itu berada di tingkat yang berbeda. Mau bagaimanapun bentuk tubuhku berubah, Leisha masih jauh berada di puncak.

"Ayo ke kantin, nanti keburu masuk." Memangnya karena siapa kami melihat ke kelas bilingual?! Sikap Andika yang seenak udel kadang sangat menjengkelkan. Tidak, bukan terkadang, tapi setiap saat juga menjengkelkan.

Di kantin kami membeli bakso, untuk minumannya aku membeli minuman bermerek Teh Botol yang ada di dalam kemasan berbentuk kotak. Sebenarnya kontradiksi ini membuatku kesal, tapi ya sudahlah. Aroma bakso sudah memanggilku. Kuah bening dengan sedikit taburan bawang goreng dan cicangan seledri. Begini saja sudah enak, namun ini belum lengkap kalau belum ditambah sambal. Aku menambahkan dua sendok sambal ke dalam kuah bakso. Warna bening dari bakso mulai bercampur dengan warna kemerahan sambal.

"Rey, kamu kenal sama dia?" tanya Favian selagi aku memakan bakso.

"Diha? Wihapa?" balasku dengan bakso di mulutku.

"Cewek yang duduk paling depan, yang pake kacamata."

"Ya, kenal. Kami satu SMP." Entah kenapa aku merasa sedikit bangga pernah satu sekolah dengan Leisha, padahal itu bukanlah sesuatu yang harus dibanggakan. Dasar aku, bangga dengan hal yang tidak jelas.

"Wih! Lu satu SMP sama dia? Berarti lu tau dong dia kaya apa?" sambar Andika dengan antusias.

Tahu Leisha seperti apa? Tidak, aku tidak tahu apa pun tentangnya. Aku bahkan tidak pernah berbicara dengan Leisha sampai pagi tadi. Aku menggeleng. "Tidak, kami tidak terlalu akrab." Apanya yang akrab? Aku saja tidak punya teman saat SMP! Entah mengapa saat mengingat itu membuat mataku sedikit berair. Sialan!

"Cih... Gue kira lu tau."

"Ya mau bagaimana lagi? Kita ga bisa berteman dengan semua orang," timpal Favian seperti sedang membelaku.

Aku senang dia berada di pihakku, tapi apa-apaan pernyataan gila itu? Berteman dengan semua orang? Aku sangat yakin tidak akan ada orang yang bisa berteman dengan semua orang, meski itu Favian yang tampan dan ramah sekalipun. Alasannya? Mudah, itu karena melelahkan. Aku yang hanya berinteraksi dengan tiga begundal ini saja melelahkan, apalagi harus berinteraksi dengan... Ah sudahlah, memikirkannya saja sudah membuatku malas.

Tidak, tidak, tidak, ini tidak ada hubungannya dengan diriku saat SMP. Memang benar saat SMP aku tidak memiliki teman, tapi itu tidak ada hubungannya dengan diriku yang sekarang. Kemampuan komunikasiku baik, sudah cukup dan layak untuk terjun ke masyarakat. Jadi jauhkan pikiran kalau aku ini orang yang kurang bersosialisasi atau semacamnya, jelas?

"Aku mau beli minuman, ada yang mau nitip?"

Aku sudah memiliki Teh Botol berbentuk kotak yang menjengkelkan ini, Favian memiliki air mineral, Andika memang tidak membeli minum, tapi aku yakin kalau dia pasti akan meminta minuman Favian. Kami semua menggeleng menolak tawaran Rifki.

Rifki yang sudah selesai memakan baksonya pergi membeli minum, lalu dia kembali membawa susu rasa stroberi dengan bungkus berwarna merah muda. Kemasan yang terkesan feminim itu sangat mencolok saat dipegang Rifki yang memiliki tubuh kekar. Dia menusukkan sedotan dan mulai menyedot susu stroberinya dengan wajah yang sangat puas.

Sial, kontradiksi ini juga membuatku kesal.

Image Change [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang